Mengenal Hukum Aqly, Syar'i dan 'Ady

Muslimedianews.com ~  "Allah Tidak Kekal",

Pernyataan ini tentu saja tidak bisa diterima oleh akal sehat seorang mukmin, di istilahkan dengan "Mustahil Aqly".

Inilah sebagian contoh penerapan hukum aqal. Adapun yang benar adalah "Allah Kekal (Baqa')", wajib bagi aqal kita mengimaninya.

Dengan mempelajari kaidah-kaidah semacam ini, maka akan mudah bagi umat Islam dalam mempelajari tauhid secara benar.

Selain ada hukum Aqly, juga ada hukum Syar'i dan Hukum 'Ady (Adat/kebiasaan/Sunnatullah).

Berikut penjelasannya:
A. Hukum 'Aqly sendiri ada tiga, yaitu:

1. Wajib, artinya perkara yang tidak boleh tidak akan adanya bagi ‘aqal fikiran.

2. Mustahil, artinya perkara yang tidak boleh tidak akan tiadanya bagi ‘aqal.

3. Jaiz, artinya perkara yang adanya dan tiadanya dapat diterima ‘aqal.

B. Hukum Syar’i
Ada hukum aqal, ada pula hukum syar’i. Hukum syar'i adalah perintah Allah Ta’ala atas perbuatan mukallaf (yang diberi tanggung jawab), maka disebut perintah yang memberatkan (taklif) disebut juga sebagai perintah yang jelas, sebab ditentukan syaratnya atau sebabnya.

Hukum syar’i ini ada tujuh, yaitu:

1. Wajib, artinya perkara yang jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat dosa.

2. Sunnah, artinya perkara yang jika dikerjakan mendapat pahala.

3. Haram, artinya perkara yang jika dikerjakan mendapat dosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala.

4. Makruh, artinya perkara yang jika dikerjakan tidak mendapat dosa, tetapi perbuatan tersebut tidak disukai Allah dan jika ditinggalkan mendapat pahala.

5. Mubah, artinya “harus syar’i”, yaitu perkara yang jika dikerjakan ataupun ditinggalkan tiada mendapat dosa atau pahala.

6. Shahih (sah), artinya perkara yang lengkap segala syaratnya dan segala rukunnya.
7. Bathal, artinya perkara yang kurang syaratnya atau rukunnya.

C. Hukum ‘Ady (Adat/Kebiasaan)
Hukum ‘ady artinya menetapkan suatu perkara bagi suatu hal, atau menetapkan suatu perkara pada suatu hal dengan alasan perkara tersebut berulang-ulang.

1. Penetapan keadaan suatu perkara dengan keadaan perkara lainnya. Misalnya keadaan kenyang dengan keadaan makan.

2. Penetapan ketiadaan suatu perkara dengan ketiadaan perkara lainnya. Misalnya ketiadaan kenyang dengan ketiadaan makan.

3. Penetapan keadaan suatu perkara dengan ketiadaan perkara lain. Misalnya keadaan dingin dengan ketiadaan selimut.

4. Pentapan ketiadaan suatu perkara dengan keadaan suatu perkara lain. Misalnya ketiadaan hangus dengan adanya siraman air.

Sekarang kita telah mengetahui perbedaan wajib syar'i dengan wajib 'aqly.

Jika disebutkan wajib atas tiap orang mukallaf maka maksudnya adalah wajib syar’i.

Jika disebutkan wajib bagi Allah Ta’ala atau bagi Rasulullah, maka maksudnya adalah wajib ‘aqly.

Jika dikatakan jaiz bagi mukallaf, maka maksudnya jaiz syar’i. Jika dikatakan jaiz bagi Allah Ta’ala, maka maksudnya adalah jaiz ‘aqly.

Yang wajib pada Allah ‘Azza wa Jalla dengan tafshil disebut sifat 20, yang telah berdiri dalil ‘aqly dan naqly atasnya.

Wajib atas tiap mukallaf mengetahui dengan ijmaly saja didalam perkataan (bersifat Allah Ta’ala dengan setiap sifat  kesempurnaan.

Adapun yang mustahil pada Allah ‘Azza wa Jalla dengan tafshil ada 20 perkara, yaitu lawan dari 20 sifat yang wajib bagi Allah ‘Azza wa Jalla.

Yang mustahil pada Allah ‘Azza wa Jalla dengan ijmaly yaitu yang ada di dalam perkataan “Maha Suci Allah dari dari setiap sifat kekurangan dan dari perkara yang terbayang (terbersit) di hati.”

Red: IbnuManshur
Dikutip dari: "Shifat Dua Pulu" karya Habib 'Utsman bin 'Abdullah bin 'Aqil bin Yahya, diterbitkan oleh Maktabah Al-Madaniyah Indonesia (file bentuk Ebook)

Editor: DBC_KPNULVIII

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar