Praktek Shalat Nabi SAW menurut Madzhab Imam Syafi'i - Bagian I.

1Muslimedianews.com ~ Dikutip dari Matan Abu Syuja dan dilengkapi dalil-dalilnya oleh Syaikh Musthafa Deib Bugha

1. Niat sebelum melaksanakan shalat mengikuti firman Allah ta'ala di dalam surat al-Bayyinah ayat 5:

وما أمروا الا ليعبدوا الله مخلصين له الدين
Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali menyembah Allah dengan ikhlas dan baginya-lah agama

juga mengikut ketentuan di dalam hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim

انما الاعمال بالنيات
Bahwasanya amal perbuatan itu bergantung kepada niat.
CATATAN:
Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantany rah menjelaskan bahwa menurut pengertian syara' niat adalah menyengaja sesuatu yang berkaitan dengan keinginan untuk melakukan sesuatu dan tempat niat itu berada di dalam hati berdasarkan ijma para ulama. Tidak cukup dianggap niat yaitu mengucapkan dengan lisan namun hatinya lalai. Adapun mengenai hukum melafazkan niat shalat (usholli) apakah termasuk ke dalam perbuatan bid'ah atau dianjurkan, silakan lihat catatan saya sebelumnya.
2. Berdiri dengan kemampuan.
Sebagaimana disebutkan di dalam hadits riwayat Imam al-Bukhari (hadits nomor 1066) dari Umran ibn Hushain r.a.

كانت بي بواسير فسألت النبي صلى الله عليه وسلم عن الصلاة فقال صل قائما فان لم تستطع فقاعدا فان لم تستطع فعلى جنب
" saya pernah terkena penyakit bawasir (ambeien), lalu saya bertanya kepada Nabi saw (tentang bagaimana melaksanakan) shalat, Beliau saw menjawab:" shalatlah dalam keadaan berdiri, jika tidak sanggup duduklah. Jika kamu masih tidak sanggup duduk, shalatlah dalam keadaan berbaring"

3. Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits riwayat Imam Bukhari (hadits nomor 705) dan Imam Muslim (hadits nomor 390) dari Abdullah ibnu Umar r.a.:

رأيت النبي صلى الله عليه وسلم افتتح بالتكبير فرفع يديه حين يكبر حتى يجعلها حذو منكبيه
" saya melihat Nabi saw membuka (shalatnya) dengan mengucapkan takbir sambil beliau mengangkat kedua tangannya sampai menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya."

Di dalam Subulussalam (Jilid I, hal. 274) disebutkan riwayat Wail ibn Hujr yang menjelaskan bahwa Rasul saw mengangkat tangan ketika bertakbir, hingga dekat ujung kedua telingannya.

4. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri
Sebagaimana khabar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits nomor 401) dari Wail ibn Hujr r.a, bahwasanya ia melihat Nabi saw mengangkat kedua tangannya ketika shalat kemudian meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya.
CATATAN:
Riwayat dari Wail ibn Hujr r.a. ini ditemukan kelanjutannya di dalam Kitab " Bulughul Maram" karya al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalany. Wail ibn Hujr r.a. berkata:

" Saya shalat bersama Nabi saw, beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya" (hadits diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah).(Bulughul Maram, hadits Nomor 261) Di dalam riwayat Abu Dawud dan al-Nasa'iy disebutkan, "Rasul saw meletakkan telapak tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kirinya seperti memegang dan melepas)
Imam al-Nawawy rah di dalam "Minhaj al-Thalibin" mengatakan bahwa Rasul saw meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya di bawah dadanya. Bahwa yang dimaksud di dalam hadits Wail " di atas dadanya" maknanya menjelaskan posisi di antara dada dan di bawahnya. (Lihat Subulussalam, Imam al-Shan'any Jilid 1 hal. 284, terbitan Darul Bayan)

5. al-Tawajjuh (membaca doa iftitah wajjahtu wajhiya)

Sebagaimana disebutkan di dalam riwayat Imam Muslim (hadits Nomor 771) dari Ali ibn Abi Thalib r.a. dari Rasul saw bahwasanya Beliau saw bila mendirikan shalat beliau mengucapkan:

وَجَّهتُ وَجهِيَ لِلَّذى فَطَرَ السَّمَواَتِ وَالاَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أَنَا مِن المُشْرِكِيْنَ
wajjahtu wajhiya lil ladzi fatharas samawati wal ardha hanifan wa ana minal musyrikin
" aku hadapkan wajahku kepada yang menciptakan langit dan bumi dengan lurus, dan aku bukanlah golongan orang2 yang musyrik"
ان صلاتي ونسكي ومحياي ومما تي لله رب العالمين
inna shalaty wa nusuky wa mahyaaya wamamaati lillahi rabbil alamin
" sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah rabb alam semesta"

لا شريك له وبذلك امرت وانا من المسلمين
laa syarika lahu wa bidzaalika umirtu wa ana minal muslimin
" tiada sekutu bagi-Nya dan demikianlah aku diperintahkan dan aku termasuk ke dalam golongan orang2 yang tunduk/pasrah"

6. Membaca isti'adzah (a'udzu billah minas syaithanir rajim)

Mengikuti ketentuan di dalam Al-Qur'an surat al-Nahl (16) ayat 98

7. Membaca surat al-fatihah dengan mengeraskan bacaan Bismillah di bagian awalnya

Dalil tentang mengeraskan bacaan basmalah diriwayatkan dari Nu'aim al-Mujmiri, ia berkata: saya shalat di belakang Abu Hurairah r.a., ia membaca Bismillahirrahmanir rahim kemudian membaca Ummul Qur'an sampai akhir setelah itu membaca "aamiin"...setelah selesai shalat, Abu Hurairah r.a. berkata: " Demi zat yang menguasai diriku bahwa aku lebih menyerupai shalat Rasul saw dibandingkan kalian." Hadits Nomor 264 riwayat al-Nasa'iy dan Ibnu Khuzaimah, sebagaimana tertulis di dalam Bulughul Maram. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhary secara mu'allaq, diriwayatkan oleh al-Siraj dan Ibnu Hibban. Imam al-Shan'any rah menyatakan hadits ini sebagai hadits yang paling shahih mengenai mengeraskan bacaan Basmalah (Subulussalam Jilid I hal.290).

bersambung....

Oleh : KH. Abdi Kurnia Djohan

Share:

Praktek Shalat Nabi SAW menurut Madzhab Imam Syafi'i - Bagian.2 Muslimedianews.com

(Baca sebelumnya: Praktek Shalat Nabi SAW menurut Madzhab Imam Syafi'i - Bagian.1). Berikut adalah kelanjutannya:

8. Mengucapkan "aamiin" sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (hadits nomor 934) dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: " Rasul saw apabila membaca ayat:

غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ

beliau mengucapkan, "aamiin" hingga orang-orang yang ada di shaf pertama mendengarnya.

Ibnu Majah di dalam riwayatnya (hadits nomor 853) menambahkan," hingga masjid seolah-olah bergetar dengan bacaan (aamiin) itu."

Makmum disunnahkan untuk mengikuti bacaan amin itu sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (hadits nomor 749) dan Imam Muslim (hadits nomor 410), Rasul saw bersabda:" apabila imam membaca ,

غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ

maka ucapkanlah,"aamin", karena siapa yang ucapannya itu seiring dengan ucapan malaikat, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu." di dalam riwayat Imam Abu Dawud (hadits nomor 936) disebutkan ( apabila imam mengucapkan amin, ucapkanlah pula oleh kalian "amin")

9. Membaca surat dari Al-Qur'an yang mudah diingat, setelah surat al-fatihah.

Dalilnya adalah Qs al-Muzammi (73)l ayat 20:

فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْاَنِ
"karena itu bacalah apa yang mudah dari Al-Qur'an"

10. Mengeraskan bacaan pada tempatnya dan melemahkan bacaan pada tempatnya

Dalil:

a. Hadits Riwayat Imam al-Bukhary (hadits nomor 735) dan Imam Muslim (hadits nomor 463) dari Jubair ibn Muth'im r.a., ia berkata: " Saya mendengar Rasul saw membaca surat al-Thur pada saat shalat maghrib"

b. Hadits riwayat Imam al-Bukhary (hadits nomor 733) dan Imam Muslim (hadits nomor 449) dari Abdullah ibnu Abbas r.a., ia berkata: "Saya mendengar Rasul saw membaca surat "at-Tin" pada saat shalat Isya, dan tidak pernah saya dengar orang yang begitu indah ketika membacakannya selain daripada Rasul saw."

c. Hadits riwayat Bukhari (hadits nomor 733) dan Muslim (hadits nomor 449) dari Abdullah ibnu Abbas r.a.ketika menceritakan kehadiran bangsa jin untuk mendengarkan bacaan Al-Qur'an Rasul saw. Di dalam hadits itu disebutkan, ketika Rasul saw sedang melaksanakan shalat fajr (subuh)  bersama para sahabat, mereka mendengar bacaan Al-Qur'an dan mereka pun khusyu mendengarkan.

Ketiga hadits di atas menunjuk waktu-waktu shalat di mana bacaan Al-Qur'an dikeraskan. Adapun hadits yang menunjuk bahwa Rasul tidak mengeraskan bacaan adalah:

a. Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (hadits nomor 713) dari Khabbab r.a., ia pernah ditanya," Apakah Rasul saw (dahulu semasa hidupnya) membaca Al-Qur'an pada shalat dzuhur dan ashar?" Khabbab menjawab,"ya" Penanya,"bagaimana kamu tahu Rasul saw membaca?" Khabbab," kami melihat janggut beliau bergerak."

b. Hadits riwayat Bukhari (hadits nomor 738) dan Muslim (hadits nomor 396) dari Abu Hurairah r.a., ia berkata," di dalam setiap shalat, beliau saw selalu membaca Al-Qur'an, apa yang Rasul saw perdengarkan kepada kami, kami perdengarkan kepada kalian dan apa yang beliau sembunyikan (dari bacaan itu), juga kami sembunyikan (bacaan Al-Qur'an) itu.

CATATAN:
Syaikh Mustafa Deib Bugha menjelaskan bahwa bacaan Al-Qur'an dikeraskan pada waktu : 1. shalat subuh ; 2. awal waktu shalat maghrib dan Isya; 3. shalat jum'at; 4. dua shalat ied; 5. shalat gerhana bulan; 6. shalat istisqa; 7. shalat tarawih dan witir Ramadhan; 8. dua rakaat shalat sunnah tawaf yang dikerjakan pada malam hari dan waktu subuh;

Di dalam beberapa shalat, bacaan Al-Qur'an dibaca antara keras dan lemah (mutawasith) yaitu pada saat shalat sunnat mutlak,  dan shalat malam, sebagaimana dimaksudkan di dalam Al-Qur'an surat al-Israa (17) ayat 110:

وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيْلاً
"janganlah engkau mengeraskan suaramu di dalam shalat dan jangan (pula) merendahkannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu."
(bersambung)....

Oleh : KH. Abdi Kurnia Djohan

Share:

Dalil Melafadzkan atau Mengucapkan Niat Shalat, Puasa dan Ibadah Lainnya

Muslimedianews.com ~ Persoalan melafadzkan (membaca) niat di dalam ibadah khususnya di dalam shalat kembali menjadi permasalahan. Ramainya perdebatan mengenai masalah membaca niat muncul setelah umat membaca buku "Sifat Shalat Nabi saw" karya Syaikh Nashruddin al-Albany. Pada era tahun 1970-an persoalan ini memang pernah muncul, ketika para ustadz Muhammadiyyah mengeluarkan fatwa bid'ahnya mengucapkan "usholli" pada saat melakukan shalat atau ucapan "nawaitu shauma ghodin" pada saat melaksanakan ibadah puasa (shaum). Untuk mengklarifikasi, tuduhan bid'ah yang terlihat serampangan itu, pada kesempatan ini saya mengemukakan dalil-dalil yang membolehkan ucapan "usholli", "nawaitu shauma ghodin" atau melafadzkan niat di dalam ibadah.

DALIL TENTANG KEDUDUKAN NIAT
Di dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa amal perbuatan sangat bergantung kepada niat. Nabi Muhammad saw bersabda, sebagaimana diriwayatkan dari Amirul Mu'minin Umar ibn al-Khatthab r.a.:

اِنَّمَا الاَعْمَالُ باِلنِّيَاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Bahwasanya setiap amal (perbuatan) hanya bergantung kepada niat dan bahwasanya setiap urusan (juga) bergantung kepada apa yang diniatkan.

al-Imam al-Suyuthi rah di dalam karyanya " Al-Ashbah wa al-Nadzoir fil furu' " menjelaskan bahwa hadits innamal a'malu binniyyat ini merupakan pondasi dari sebagian besar ilmu agama. Imam al-Syafi'i r.a. sebagaimana dikutip oleh Imam al-Suyuthi rah, mengatakan bahwa dari hadits ini lahir 40 cabang pembahasan ilmu. Demikian besarnya perhatian para ulama, sebagaimana terekam dari penjelasan Imam al-Suyuthi tadi menegaskan bahwa persoalan niat mempunyai kedudukan tersendiri bahkan penting di dalam urusan agama.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya APAKAH NABI SAW MEMBACA NIAT KETIKA MELAKUKAN IBADAH?

Menjawab pertanyaan ini, saya akan lampirkan beberapa dalilnya:1.  Hadits riwayat Anas bin Malik bahwa Rasul saw mengucapkan niat ketika melaksanakan haji

عَن اَنَس رَضِي الله عَنه سَمِعْتُ رَسُولَ الله صَلى الله عليه وسلم يَقُولُ لَبَّيك  عُمْرَةً وَحَجًّا
Dari Anas ibn Malik r.a. ia berkata: Aku mendengar Rasul saw berujar mengucapkan niat hajinya,' Aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah dan haji" (HR Muslim, sebagaimana tertulis di dalam Syarah (penjelasan) Shahih Muslim karya Imam al-Nawawi rah Jilid VIII/hal.216)2.

Hadits Riwayat Umar ibn al-Khatthab dengan matan (isi) hadits yang lebih lengkap lagi mengenai niat haji Rasul saw:

عَنْ عُمر رضي الله عنه قال سَمِعتُ رَسولَ الله صلى الله عليه وسلم بِوَادى  العَقِيق  يَقُول اَتَانِى اللَّْيلةَ َاتِ رَبِّ فَقَالَ صَلِّ فِى هَذاَ الوَادِى المُبَارَك وَقُل عُمْرَةً فِى حَجَّةٍ
Dari Umar r.a. ia berkata Aku mendengar Rasul saw di lembah al-Aqiq berkata: " telah datang kepadaku tadi malam utusan Tuhanku (malaikat), ia berkata,' shalatlah (kamu wahai Rasul saw) di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah niat umrah untuk haji'. " (HR Bukhari Jilid 1/hal.89)

Kedua hadits di atas, bagi mereka yang baru belajar agama, pasti akan disanggah dengan komentar " Lho itu khan hadits tentang lafadz niat haji terus apa hubungannya dengan sholat?" Baiklah saya akan jawab. Meskipun hadits di atas menjelaskan masalah niat (mengucapkan niat) di dalam ibadah haji, tapi bukan berarti muatan hadits di atas, yaitu mengucapkan niat, hanya khusus untuk ibadah haji. Kesimpulan tersebut sesuai dengan kaidah di dalam ilmu ushul fikih:

 اِذَا وَرَدَ العَامُ عَلَى سَبَبٍ خَاصٍ فَالعِبْرَةُ لِعُمُومِ اللَّفْظِ لاَ لِخُصُوصِ السَّبَب
"Apabila ada nash (teks dalil baik Al-Qur'an ataupun hadits) yang bersifat umum karena sebab yang khusus, maka yang dianggap umum adalah nash bukan khususnya sebab".

Kaidah ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisy rah seorang ulama salaf (Ibnu Qudamah wa atsuruhu al-ushuliyyah hal. 233)  Dengan berpatokan kepada kaidah ushul fikih itu, kedua hadits di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Teks kedua hadits di atas muncul karena sebab yang khusus yaitu haji dan umrah;
2. Isi teks kedua hadits di atas dipandang bersifat umum karena Nabi Muhammad saw tidak menjelaskan bahwa lafadz niat itu hanya diucapkan pada saat haji dan umrah saja.

Lain halnya jika di belakang kedua teks hadits itu Nabi Muhammad saw menegaskan dengan kalimat "jangan kalian baca niat selain daripada haji dan umrah ini.", seperti terdapat di dalam hadits tentang membaca surat Al-fatihah di dalam shalat bagi makmum.

PANDANGAN ULAMA
Untuk menegaskan kesimpulan di atas, di sini saya akan lampirkan beberapa pandangan ulama mengenai melafadzkan niat. Pandangan ulama ini penting dikarenakan mereka memahami secara utuh makna Al-Qur'an dan sunnah.

1. Mazhab Imam Abu Hanifah. Para ulama pengikut mazhab Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa melafadzkan niat sunnah hukumnya  untuk membantu kesempurnaan niat di dalam hati. Silakan cek di (Al-Bada'i al-Shana'iy fi Tartib al-Syara'i Jilid I/hal.127, al-durru al-Mukhtar Jilid I/hal.406, al-Lubab Jilid I/hal.66)

2. Mazhab Imam Malik bin Anas (Maliky). Niat shalat adalah syarat sah di dalam shalat, sebaiknya niat tidak dilafadzkan kecuali ragu. Karena itu menjadi sunnah melafadzkan niat shalat untuk menghilangkan keraguan. silakan lihat di (al-Syarh al-Shaghir wa hasyiyatu al-Shawi Jilid I/hal.303 dan 305)

3. Mazhab Syafi'i, Sunnah melafadzkan niat menjelang takbiratul ihram dan wajib menentukan jenis shalat yang dilakukan (Lihat Imam al-Nawawy Majmu Syarah al-Muhazzab Jilid III/hal.243 dan hal 252)

4. Mazhab Hanbali, sunnah melafadzkan niat dengan lisan. Lihat al-Mughny Jilid 1/hal.464-469 dan Kasyf al-Qona Jilid 1/hal.364-370).

Itulah pandangan ulama mazhab dianggap mewakili mayoritas umat Islam ahlussunnah.

Adapun pandangan Syaikh bin Baz rah dan Syaikh al-albany yang menganggap membaca niat adalah bid'ah tidak dapat dijadikan sebagai alasan mengingat pandangan kedua ulama itu bersifat pribadi dan tidak dapat mewakili mayoritas. Hanya orang-orang yang kurang pengetahuan agamanya saja yang menganggap pendapat kedua ulama tersebut sejalan dengan sunnah Nabi saw.

KESIMPULAN
1. Mengucapkan lafadz niat di dalam ibadah bukanlah perkara bid'ah karena yang demikian telah disebutkan secara tersirat oleh Nabi Muhammad saw.
2. Suatu perbuatan dapat dikatakan bid'ah jika tidak ada contohnya baik di dalam Al-Qur'an ataupun di dalam sunnah Nabi Muhammad saw. Syaikh Nawawi al-bantany rah menambahkan kriteria perbuatan bid'ah adalah menyalahi perintah syariat.
3. Dengan membaca secara jelas kedua hadits shahih dan berpedoman kepada kaidah di dalam membaca dalil sebagaimana yang diajarkan oleh para ulama, tidak ditemukan persoalan bid'ah di dalam melafalkan niat ibadah apakah itu shalat, puasa, zakat, ataupun haji. 
4. Menganggap bid'ah sebuah perbuatan bukanlah perkara yang gampang karena konsekuensi tuduhan bid'ah adalah kesesatan yang berujung kepada kekufuran.

Semoga bermanfaat, Wallahu waliyyut Taufiq....Hasbunallah wa ni'mal wakil ni'mal maula wa ni'mannashir.

Share:

DALIL QIYAS DALAM IBADAH

Dinding Facebook Muhammad Idrus Ramli

WAHABI: “Mengapa Anda banyak melakukan ibadah hasil teori Qiyas?”

SUNNI: “Memangnya kenapa, kalau sebagian ibadah yang kami lakukan berdasarkan dalil Qiyas?”

WAHABI: “Ya jelas sesat, karena dalam kaedah fiqih dijelaskan:

الأصل في العبادة التوقيف

Hukum asal dalam ibadah itu harus ada tuntunan.
Jadi Qiyas dalam tidak boleh dilakukan.”

SUNNI: “Kaedah yang Anda sebutkan, itu terdapat dalam kitab apa? Dan apa dalil dari kaedah yang Anda sebutkan tadi?”

WAHABI: “Maaf, saya hanya dengar-dengar dari sebagian Ustadz kami yang kalian sebut Wahabi.”

SUNNI: “Nah itu kan, kaedah yang Anda sebutkan ternyata tidak ada dalam kitab-kitab para fuqaha terdahulu. Kaedah yang Anda sebutkan itu sepertinya buatan al-Albani, ulama Wahabi yang tidak mengerti ilmu fiqih, dan berpenampilan seolah-olah ahli hadits. Kaedah yang Anda sebutkan jelas salah, dan tidak benar.”

WAHABI: “Kok bisa, kaedah di atas tidak benar? Dan apa dasarnya bahwa Qiyas boleh dilakukan dalam masalah ibadah?”

SUNNI: “Secara umum kaum Wahabi seperti Anda memang menolak qiyas, baik dalam ibadah maupun selain ibadah, kecuali dalam kondisi terpaksa dan dalam konteks yang terbatas. Karena itu, dalam penggunaan qiyas, kaum Wahabi sangat dekat dengan madzhab Zhahiri. Tentu saja sikap mereka yang anti qiyas tersebut tertolak, baik secara rasional maupun ditinjau dari aspek dalil naqli. Demikian ini bisa dipaparkan dalam penjelasan berikut ini:

Pertama, Islam merupakan agama yang sempurna pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena aturan-aturan syariatnya mencakup terhadap semua aspek kehidupan. Akan tetapi cakupan tersebut adakalanya dengan nash atau teks secara eksplisit (sharahah), adakalanya secara isyarat atau implisit, dan adakalanya secara istinbath (proses penggalian hukum) melalui ijma’ atau qiyas. Seandainya Islam itu sempurna dan aturan-aturan syariatnya bersifat paripurna dengan teks-teks yang bersifat eksplisit saja, tentu umat Islam tidak membutuhkan lagi dalil ijma’ dan qiyas. Dan tentu saja dalil-dalil agama akan terbatas pada al-Qur’an dan Sunnah saja. Demikian ini jelas tidak pernah dikatakan oleh siapapun dari kalangan ulama. Jika qiyas dalam ibadah tidak ada, tentu saja tidak butuh terhadap firman Allah:

وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي اْلأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ

“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” (QS. 4 : 83).

Seandainya penggunaan qiyas dalam ibadah termasuk menuduh bahwa Islam belum sempurna atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam belum menyelesaikan risalahnya, tentu para ulama yang melakukan qiyas adalah orang-orang kafir. Padahal mereka yang melakukan qiyas dalam ibadah adalah para sahabat, tabi’in dan para imam mujtahid. Apakah mereka termasuk orang kafir? Tentu saja tidak. Para sahabat dan para imam telah melakukan qiyas dalam hal ibadah.

WAHABI: “Iya ya. Apakah ada riwayat, bahwa para sahabat melakukan qiyas dalam ibadah?”

SUNNI: “Jelas ada. Para sahabat dan pengikut mereka telah melakukan qiyas dalam hal ibadah, sebagaimana dalam beberapa kasus berikuti ini:

1) Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu menjadikan Dzatu ‘Irqin sebagai miqat bagi penduduk Iraq ketika menunaikan ibadah haji, melalui ijtihad atau qiyas dengan dianalogikan pada Qarn, sebagai miqat bagi penduduk Najd. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ لَمَّا فُتِحَ هَذَانِ الْمِصْرَانِ أَتَوْا عُمَرَ فَقَالُوا يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّ لأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنًا وَهُوَ جَوْرٌ عَنْ طَرِيقِنَا وَإِنَّا إِنْ أَرَدْنَا قَرْنًا شَقَّ عَلَيْنَا قَالَ فَانْظُرُوا حَذْوَهَا مِنْ طَرِيقِكُمْ فَحَدَّ لَهُمْ ذَاتَ عِرْقٍ.

“Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Setelah dua kota, Basrah dan Kufah ditaklukkan, mereka mendatangi Khalifah Umar, lalu berkata: “Wahai Amirul Mukmin, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan Qarn sebagai batas miqat bagi penduduk Najd, dan itu jauh dari jalan kami. Dan apabila kami hendak ke Qarn, kami terasa berat.” Ia menjawab: “Lihatlah daerah yang lurus Qarn di jalan kalian.” Lalu Umar menjadikan Dzatu ‘Irqin sebagai batas miqat bagi penduduk Iraq.” (HR. al-Bukhari, [1531]).

Al-Syaukani berkata, dari redaksi hadits di atas, tampaknya Khalifah Umar menetapkan Dzatu ‘Irqin sebagai batas miqat berdasarkan ijtihad atau qiyas. (Al-Syaukani, Nail al-Authar, 4/33). Dalam riwayat Ahmad [4455], terdapat tambahan, bahwa para sahabat menganalogikan Dzatu ‘Irqin dengan Qarn.

2) Para sahabat, dipimpin Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhum menetapkan hukuman had bagi peminum khamr dengan 80 cambukan, dengan dianalogikan pada hukuman qadzaf (menuduh berzina), dengan alasan bahwa peminum khamr, itu mabuk. Jika mabuk dia akan meracau. Jika meracau, akan membuat tuduhan dusta. Sedangkan hukuman had penuduh adalah 80 cambukan. Karena itu para sahabat mencambuk peminum khamr dengan 80 cambukan. Al-Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:

عَنْ عَلِىٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَلَدَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم أَرْبَعِينَ وَجَلَدَ أَبُو بَكْرٍ أَرْبَعِينَ وَعُمَرُ ثَمَانِينَ وَكُلٌّ سُنَّةٌ.

“Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencambuk 40 kali, Abu Bakar 40 kali, dan Umar 80 kali. Semuanya adalah sunnah.” (HR. Muslim [4554]).

Para ulama salaf, setelah generasi sahabat juga melakukan qiyas dalam hal ibadah. Para ulama tabi’in dan imam mujtahid banyak sekali melakukan qiyas dalam hal ibadah. Hal ini bisa dicontohkan dalam banyak kasus antara lain kasus hukum zakat:

Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa illat atau alasan kewajiban zakat dalam pertanian dan buah-buahan adalah faktor dapat menguatkan (iqtiyat) dan dapat disimpan (iddikhar). Oleh karena itu mereka mewajibkan zakat terhadap gandum, sya’ir, jagung, kurma, kacang, kacang himmish, kacang turmus dan julban. Bahkan madzhab Maliki mencatat dua puluh jenis hasil pertanian yang wajib dizakati, padahal yang dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hanya lima jenis saja, dengan alasan sama-sama menjadi makanan yang menguatkan dan dapat disimpan.

Sementara Imam Ahmad bin Hanbal, menurut pendapat yang paling populer dari beliau, alasan atau illat wajib zakat dalam pertanian adalah dapat dikeringkan dan mampu bertahan (al-yabas wa al-baqa’). Oleh karena itu, setiap hasil pertanian atau buah-buahan yang dapat dikeringkan dan mampu bertahan, wajib dizakati. Hal ini seperti gandum sult, beras, gandum dukhn, kacang masy, buah cumin, biji rami, biji mentimun, kerai, biji lobak, sesame, badam, kenari, kemiri dan lain-lain. (Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, juz 2 hlm 290-292).

Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa alasan atau illat wajib zakat pada pertanian dan buah-buahan adalah dapat mendatangkan hasil dan dapat dikembangkan (al-istighlal wa al-nama’). Oleh karena itu, Abu Hanifah mewajibkan zakat pada setiap tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang keluar dari bumi, yang bertujuan diambil hasilnya dan dikembangkan. Sehingga seandainya seseorang memiliki lahan, ditanami bambu atau rumput, maka wajib dikeluarkan zakatnya. (Ibnu al-Humam, Fath al-Qadir, juz 2 hlm 502).

Di sisi lain, para sahabat dan generasi berikutnya juga banyak melakukan tambahan ibadah yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Antara lain:

1) Khalifah Umar bin al-Khaththab mengumpulkan umat Islam dalam shalat taraweh pada seorang imam. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam belum pernah mengumpulkan mereka pada satu orang imam. Khalifah Umar berkata mengenai kebijakan tersebut, “Sebaik-baik bid’ah adalah taraweh ini.” (HR al-Bukhari [2010]).

2) Dalam bab zakat, Khalifah Umar menambah jenis kewajiban zakat, yaitu zakat kuda. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam belum pernah mengambil zakatnya kuda.(Lihat, al-Hafizh al-Zaila’i, Nashb al-Rayah, juz 1 hlm 359). Pendapat senada juga diambil oleh Khalifah Utsman bin Affan dan Zaid bin Tsabit, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (juz 5 hlm 226).

3) Banyak dari kalangan sahabat yang melakukan tambahan dalam bacaan talbiyah mereka ketika menunaikan ibadah haji, melebihi bacaan talbiyah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka antara lain Abdullah bin Umar dalam riwayat Muslim dan lain-lain.

4) Al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dengan sanad yang shahih:

عَنِ ابْنِ سِيْرِيْنَ أَنَّ أَنَسَ بْنِ مَالِكٍ : شَهِدَ جَنَازَةَ رَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ قَالَ فَأَظْهَرُوا اْلاِسْتِغْفَارَ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ أَنَسٌ

“Dari Ibnu Sirin, bahwa Anas bin Malik menghadiri jenazah seorang laki-laki dari kaum Anshar. Lalu orang-orang membaca istighfar dengan suara keras. Ternyata Anas tidak mengingkari terhadap mereka.” (HR. Ahmad [4080]).

Dalam hadits di atas, Anas bin Malik tidak mengingkari atau memprotes terhadap mereka yang membaca istighfar dengan suara keras di hadapan jenazah. Padahal bacaan tersebut belum pernah dilakukan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dalam kitab-kitab hadits masih banyak kasus-kasus lain, di mana para sahabat melakukan hal-hal yang belum pernah ada pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Semuanya menunjukkan bahwa ijtihad dan qiyas dalam masalah ibadah telah dipraktekkan sejak masa sahabat. Oleh karena itu, para ulama salaf berikutnya juga melakukan qiyas dalam ibadah. Al-Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya telah diriwayatkan:

وَسُئِلَ أَحْمَد ُعَنِ الْقُنُوْتِ فِي الْوِتْرِ قَبْلَ الرُّكُوْعِ أَمْ بَعْدَهُ وَهَلْ تُرْفَعُ اْلأَيْدِي فِي الدُّعَاءِ فِي الْوِتْرِ؟ فَقَالَ: اَلْقُنُوْتُ بَعْدَ الرُّكُوْعِ وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ وَذَلِكَ عَلىَ قِيَاسِ فِعْلِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْقُنُوْتِ فِي الْغَدَاةِ.

“Al-Imam Ahmad ditanya tentang qunut dalam shalat witir, sebelum ruku’ atau sesudahnya, dan apakah dengan mengangkat tangan dalam doa ketika shalat witir?” Beliau menjawab: “Qunut dilakukan setelah ruku’, dan mengangkat kedua tangannya ketika berdoa. Demikian ini diqiyaskan pada perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam qunut shalat shubuh.” HR. Ibnu Nashr al-Marwazi dalam Qiyam al-Lail, hal. 318.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz, mufti Wahabi Saudi Arabia, yang wafat beberapa waktu yang lalu, juga melakukan qiyas dalam bab ibadah. Dalam hal ini, beliau berfatwa:

حُكْمُ رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي دُعَاءِ الْوِتْرِ
س: مَا حُكْمُ رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي الْوِتْرِ؟
ج: يُشْرَعُ رَفْعُ الْيَدَيْنِ فِيْ قُنُوْتِ الْوِتْرِ؛ لأَنَّهُ مِنْ جِنْسِ الْقُنُوْتِ فِي النَّوَازِلِ، وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ رَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ دُعَائِهِ فِيْ قُنُوْتِ النَّوَازِلِ. خَرَّجَهُ الْبَيْهَقِيُّ رَحِمَه ُاللهُ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ .

“Hukum mengangkat kedua tangan dalam doa witir. Soal: Bagaimana hukum mengangkat kedua tangan dalam shalat witir? Jawab: Disyariatkan (dianjurkan) mengangkat kedua tangan dalam qunut shalat witir, karena termasuk jenis qunut nazilah (yang dilakukan karena ada bencana). Dan telah sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengangkat kedua tangannya dalam doa qunut nazilah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Baihaqi rahimahullah dengan sanad yang shahih.” (Fatawa Islamiyyah, juz 1 hal. 349, dan Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 30 hal. 51.)

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa qiyas termasuk sumber pengambilan hukum syari’at, termasuk hukum-hukum ibadah. Sedangkan asumsi sebagian kaum Wahabi bahwa qiyas tidak boleh dilakukan dalam bab ibadah, jelas tertolak, karena tidak memiliki landasan dari al-Qur’an, Sunnah dan tradisi para sahabat dan kaum salaf. Wallahu a’lam.

WAHABI: “Terima kasih ilmunya.”

Ustadz Idrus Ramli.

Share:

Tradisi Asyuro 10 Muharram dan Faidahnya

Muslimedia News - Media Islam | Voice of Muslim

Muslimedianews.com ~ SOAL: Setiap hari Asyura atau tanggal sepuluh Muharram, umat Islam banyak melakukan tradisi Islami yang baik. Apakah hal tersebut ada keterangannya dalam kitab para ulama yang mu’tabar dan diakui?

JAWAB: Ya jelas banyak, antara lain dalam kitab I’anah al-Thalibin karya Sayyid Bakri Syatha al-Dimyathi, dan penjelasan Syaikh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Qudus al-Makki, ulama Syafi’iyah terkemuka dan pengajar di Masjid al-Haram, dalam kitabnya Kanz al-Najah wa al-Surur fi al-Ad’iyah al-Ma’tsurah allati Tasyrah al-Shudur, halaman 82, sebagai berikut:

فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ عَشْرٌ تَتَّصِلْ # بِهَا اثْنَتَانِ وَلَهَا فَضْلُ نُقِلْ
صُمْ صَلِّ صِلْ زُرْ عَالِمًا عُدْ وَاكْتَحِلْ # رَأْسَ الْيَتِيْمِ امْسَحْ تَصَدَّقْ وَاغْتَسِلْ
وَسِّعْ عَلىَ الْعِيَالِ قَلِّمْ ظَفَرَا # وَسُوْرَةَ اْلإِخْلاَصِ قُلْ أَلْفًا تَصِلْ

Pada hari Asyura terdapat dua belas amalan yang memiliki keutamaan

1) Puasa
2) Memperbanyak ibadah shalat
3) Shilaturrahmi dengan keluarga dan family
4) Berziarah kepada ulama
5) Menjenguk orang sakit
6) Memakai celak mata
7) Mengusap kepala anak yatim
8) Bersedekat kepada fakir miskin
9) Mandi
10) Membuat menu makanan keluarga yang istimewa
11) Memotong kuku
12) Membaca surah al-Ikhlash 1000 kali.

SOAL: Maaf, itu kan keterangan dari ulama muta’akhkhirin, bukan ulama ahli hadits terdahulu. Kami ingin keterangan dari ulama ahli hadits masa lalu? Karena kami khawatir itu justrru tradisi Syiah, bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah.

JAWAB: Justru menurut ulama ahli hadits terdahulu, tradisi Asyura lebih banyak dari pada keterangan di atas. Misalnya seperti yang telah dijelaskan oleh al-Imam al-Hafizh Ibnu al-Jauzi al-Hanbali, (508-597 H/1114-1201 M), seorang ulama ahli hadits terkemuka bermadzhab Hanbali, yang menjelaskan dalam kitabnya al-Majalis sebagai berikut:

فَوَائِدُ فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ
اَلْفَائِدَةُ اْلأُوْلَى: يَنْبَغِيْ أَنْ تَغْسِلَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، وَقَدْ ذُكِرَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يَخْرِقُ فِيْ تِلْكَ اللَّيْلَةِ زَمْزَمَ إِلىَ سَائِرِ الْمِيَاهِ، فَمَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَئِذٍ أَمِنَ مِنَ الْمَرَضِ فِيْ جَمِيْعِ السَّنَةِ، وَهَذَا لَيْسَ بِحَدِيْثٍ، بَلْ يُرْوَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ. اْلفَائِدَةُ الثَّانِيَةُ: الصَّدَقَةُ عَلىَ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ. اْلفَائِدَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَمْسَحَ رَأْسَ الْيَتِيْمِ. اَلْفَائِدَةُ الرَّابِعَةُ أَنْ يُفَطِّرَ صَائِمَا. اَلْفَائِدَةُ الْخَامِسَةُ أَنْ يُسْقِيَ الْمَاءَ. اَلْفَائِدَةُ السَّادِسَةُ أَنْ يَزُوْرَ اْلإِخْوَانَ. اَلْفَائِدَةُ السَّابِعَةُ: أَنْ يَعُوْدَ الْمَرِيْضَ. اَلْفَائِدَةُ الثَّامِنَةُ أَنْ يُكْرِمَ وَالِدَيْهِ وَيَبُرَّهُمَا. الْفَائِدَةُ التَّاسِعَةُ أَنْ يَكْظِمَ غَيْظَهُ. اَلْفَائِدَةُ الْعَاشِرَةُ أَنْ يَعْفُوَ عَمَّنْ ظَلَمَهُ. اَلْفَائِدَةُ الْحَادِيَةَ عَشَرَةَ: أَنْ يُكْثِرَ فِيْهِ مِنَ الصَّلاَةِ وَالدُّعَاءِ وَاْلاِسْتِغْفَارِ. اَلْفَائِدَةُ الثَّانِيَةَ عَشَرَةَ أَنْ يُكْثِرَ فِيْهِ مِنْ ذِكْرِ اللهِ. اَلْفَائِدَةُ الثَّالِثَةَ عَشَرَةَ أَنْ يُمِيْطَ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ. اَلْفَائِدَةُ الرَّابِعَةَ عَشَرَةَ أَنْ يُصَافِحَ إِخْوَانَهُ إِذَا لَقِيَهُمْ. اَلْفَائِدَةُ الْخَامِسَةَ عَشَرَةَ: أَنْ يُكْثِرَ فِيْهِ مِنْ قِرَاءَةِ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ لِمَا رُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: مَنْ قَرَأَ فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ أَلْفَ مَرَّةٍ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ نَظَرَ اللهُ إِلَيْهِ وَمَنْ نَظَرَ إِلَيْهِ لَمْ يُعَذِّبْهُ أَبَدًا.

Beberapa faedah amalan shaleh pada hari Asyura

1) Mandi pada hari Asyura. Telah disebutkan bahwa Allah SWT membedah komunikasi air Zamzam dengan seluruh air pada malam Asyura’. Karena itu, siapa yang mandi pada hari tersebut, maka akan aman dari penyakir selama setahun. Ini bukan hadits, akan tetapi diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
2) Bersedekah kepada fakir miskin.
3) Mengusap kepala anak yatim.
4) Memberi buka orang yang berpuasa.
5) Memberi minuman kepada orang lain.
6) Mengunjungi saudara seagama.
7) Menjenguk orang sakit.
8) Memuliakan dan berbakti kepada kedua orang tua.
9) Menahan amarah dan emosi.
10) Memaafkan orang yang telah berbuat aniaya.
11) Memperbanyak ibadah shalat, doa dan istighfar.
12) Memperbanyak dzikir kepada Allah.
13) Menyingkirkan apa saja yang mengganggu orang di jalan.
14) Berjabatan tangan dengan orang yang dijumpainya.
15) Memperbanyak membaca surat al-Ikhlash sampai seribu kali. Karena atsar yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, barangsiapa yang membaca 1000 kali surah al-Ikhlash pada hada hari Asyura, maka Allah akan memandang-Nya. Siapa yang dipandang oleh Allah, maka Dia tidak akan mengazabnya selamanya. (Al-Hafizh Ibnu al-Jauzi al-Hanbali, kitab al-Majalis halaman 73-74, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah).

Jadi tradisi-tradisi tersebut bukan tradisi Syiah. Tetapi murni Islami dan Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan ahli hadits.

SOAL: Sebagian masyarakat Nusantara berbagi-bagi bubur pada hari Asyura. Apakah hal tersebut ada dalilnya?

JAWAB: Ya, berbagi bubur kepada tetangga itu kan bagian dari sedekah. Jelas ada dalilnya. Berkaitan dengan tradisi membuat makanan Bubur Syuro pada hari Asyura ini, ada hadits shahih yang mendasarinya.

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ سَنَتِهِ كُلِّهَا. حديث صحيح (رواه الطبرانى، والبيهقى).
“Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menjadikan kaya keluarganya (dalam hal belanja dan makanan) pada hari Asyura, maka Allah akan menjadikannya kaya selama satu tahun tersebut.” Hadits shahih. (HR. al-Thabarani dan al-Baihaqi).

Berkaitan dengan hadits tersebut, al-Imam al-Hafizh Ahmad al-Ghumari menulis kitab khusus tentang keshahihannya berjudul, Hidayah al-Shaghra’ bi-Tashhih Hadits al-Tausi’ah ‘ala al-‘Iyal Yauma ‘Asyura’. Bahkan al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, murid Syaikh Ibnu Taimiyah, berkata dalam kitabnya Lathaif al-Ma’arif, sebagai berikut:

وَقَالَ ابْنُ مَنْصُوْرٍ: قُلْتُ لأَحْمَدَ: هَلْ سَمِعْتَ فِي الْحَدِيْثِ: ( مَنْ وَسَّعَ عَلىَ أَهْلِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ أَوْسَعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ السَّنَةِ) فَقَالَ: نَعَمْ رَوَاهُ سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ جَعْفَرٍ اْلأَحْمَرِ عَنْ إِبْرَاهِيْمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْمُنْتَشِرِ وَ كَانَ مِنْ أَفْضَلِ أَهْلِ زَمَانِهِ أَنَّهُ بَلَغَهُ: أَنَّهُ مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ أَوْسَعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ فقَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ: جَرَّبْنَاهُ مُنْذُ خَمْسِيْنَ سَنَةً أَوْ سِتِّيْنَ سَنَةً فَمَا رَأَيْنَا إِلاَّ خَيْرًا. (الإمام الحافظ ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص ١٣٧-١٣٨).
“Ibn Manshur berkata, “Aku berkata kepada Imam Ahmad, “Apakah Anda mendengar hadits, “Barangsiapa yang menjadikan kaya keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan menjadikannya kaya selama setahun?” Ahmad menjawab, “Ya. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Sufyan bin Uyainah dari Ja’far al-Ahmar, dari Ibrahim bin Muhammad, dari al-Muntasyir –orang terbaik pada masanya-, bahwa ia menerima hadits, “Barangsiapa yang menjadikan kaya keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan menjadikannya kaya selama satu tahun penuh”. Sufyan bin Uyainah berkata, “Aku telah melakukannya sejak 50 atau 60 tahun, dan selalu terbukti baik.” (al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 137-138).

Perhatikan, ternyata tradisi sedekah Asyura telah berlangsung sejak generasi salaf.

SOAL: Berarti kelompok yang enggan melakukan tradisi Asyura dan bahkan hanya bisa mencela dan membid’ahkan tidak punya dasar ya?

JAWAB: Ya jelas tidak punya dasar.

SOAL: Apa sih gunanya mengusap kepala anak yatim pada hari Asyura?

JAWAB: Pertanyaan Anda dijelaskan dalam hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلاً شَكَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَقَالَ امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ وَأَطْعِمْ الْمِسْكِينَ. رواه أحمد. قال الحافظ الدمياطي ورجاله رجال الصحيح.
Dari Abu Hurairah, bahwa seorang laki-laki mengeluhkan hatinya yang keras kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu beliau bersabda: “Usaplah kepala anak yatim, dan berilah makan orang miskin.” (HR. Ahmad [9018]. Al-Hafizh al-Dimyathi berkata: “Para perawinya adalah para perasi hadits shahih.” Lihat, al-Hafizh al-Dimyathi, al-Matjar al-Rabih fi Tsawab al-‘Amal al-Shalih, hlm 259 [1507]).

Perhatikan, dalam hadits di atas, mengusap kepala anak yatim dan bersedekah makanan kepada kaum miskin termasuk kita yang jitu yang mengatasi hati yang keras. Kita perhatikan, orang yang tidak suka mengusap kepala anak yatim, dan membid’ahkan orang yang gemar selamatan, hatinya selalu keras, meskipun ribuan dalil disampaikan, masih saja hatinya menolak kebenaran. Hadaanallaahu waiyyaakum. Amin. Wallahu a’lam.

Oleh : Ustadz Muhammad Idrus Ramli

Share:

JAWABAN TERHADAP WAHABI ANTI TAHLILAN

JAWABAN TERHADAP WAHABI ANTI TAHLILAN
Dinding Facebook Muhammad Idrus Ramli / Muhammad Idrus Ramli

Beberapa waktu yang lalu, setelah kami menulis status tentang dalil-dalil bolehnya dzikir Tahlilan tujuh hari, hari ke-40, 100 dan 1000, dan bahwa hal tersebut tidak termasuk tasyabbuh yang dilarang, ada sebagian Wahabi yang menulis bantahan, dan mengutip dari kitab al-Istinfar karya Syaikh Ahmad al-Ghumari, dan al-Bidayah wa al-Nihayah karya al-Hafizh Ibnu Katsir al-Syafi’i. akan tetapi setelah kami lihat, ternyata argument bantahan tersebut sama sekali tidak mengena terhadap persoalan yang dibahas. Oleh karena itu, di sini kami tulis jawaban secara ilmiah.

WAHABI: Kita tidak boleh shalat ketika matahari tepat terbit dan matahari tepat terbenam karena matahari terbit dan terbenam antara dua tanduk setan, dan orang kafir sujud pada saat itu, maka kita dilarang tasyabbuh kepadanya.

صَلِّ صَلَاةَ الصُّبْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ

"Lakukan shalat Subuh kemudian berhentilah shalat sampai terbitnya matahari hingga dia agak naik meninggi, karena matahari itu terbit antara dua tanduk setan dan saat itulah orang-orang kafir sujud.:

Kemudian beliau juga bersabda di hadits yg sama:

ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ

"Kemudian hentikan shalat sampai terbenam matahari karena dia terbenam antara dua tanduk setan dan saat itulah orang-orang kafir bersujud."

SUNNI: “Sholat memang beda dengan dzikir dan Tahlilan. ketika matahari tepat terbit dan matahari tepat terbenam, sholat sunnah tidak boleh dilakukan. Tetapi untuk dzikir dan tahlilan justru dianjurkan. Dalam kitab-kitab dijelaskan:

عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من صلى الفجر فى جماعة ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم يصلى ركعتين كانت له كأجر حجة وعمرة تامة تامة تامة رواه الترمذى وقال حسن غريب

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang menunaikan shalat fajar (shubuh), kemudian duduk berdzikir kepada Allah hingga Matahari terbit, kemudian shalat dua raka’at, maka ia memperoleh pahala seperti pahala haji dan umroh sempurna sempurna sempurna.” (HR al-Tirmidzi, [586], dan berkata ini hadits hasan gharib).

عَنْ سَهْلِ بْنِ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ الْجُهَنِىِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ قَعَدَ فِى مُصَلاَّهُ حِينَ يَنْصَرِفُ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى يُسَبِّحَ رَكْعَتَىِ الضُّحَى لاَ يَقُولُ إِلاَّ خَيْرًا غُفِرَ لَهُ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ زَبَدِ الْبَحْرِ ». أخرجه أبو داود ، والطبرانى ، والبيهقى . وأخرجه أيضًا : أحمد

“Dari Sahal bin Mu’adz bin Anas al-Juhani, dari ayahnya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang duduk di tempat shalatnya ketika selesai shalat shubuh sampai menunaikan dua rakaat shalat dhuha, ia tidak berkata kecuali kebaikan, maka dosa-dosanya diampuni meskipun lebih banyak dari pada buih di lautan.” (HR. Abu Dawud [1287], al-Thabarani [442], al-Baihaqi [4686] dan Ahmad [15661]).

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لأَنْ أَقْعُدَ أَذْكُرُ اللهَ وَأُكَبِّرُهُ وَأَحْمَدُهُ وَأُسَبِّحُهُ وَأُهَلِّلُهُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ رَقَبَتَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَمِنْ بَعْدِ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَ رِقَابٍ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ

“Dari Abu Umamah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seandainya aku duduk berdzikir kepada Allah, mengagungkan-Nya, memuji-Nya, bertasbih dan bertahlil kepada-Nya hingga matahari terbit, lebih aku cintai daripada aku memerdekatan dua budak atau lebih dari keturunan Ismail. Dan dari setelah shalat ashar hingga matahari terbenam, lebih aku senangi daripada aku memerdekakan empat orang budak dari keturunan Ismail.” (HR Ahmad [22194], dan sanadnya hasan).

Dalam hadits-hadits di atas, dan hadits-hadits lain yang tidak kami sebutkan di sini, sangat jelas, bahwa waktu dzikir, termasuk tahlilan dan yasinan, lebih luwes dan lebih longgar dari pada waktu shalat. Meskipun orang-orang kafir sedang menyembah Matahari, atau orang Hindu sedang melakukan ritual keagamaan, dzikir seperti tahlilan tetap dianjurkan. Oleh karena itu, perkatan Syekh Ahmad Al Ghumari dalam kitabnya, "Al-Istinfar li Ghazwit Tasyabbuh bil Kuffar" hal. 33:

قال العلماء : نهى صلى الله عليه وسلم عن الصلاة في هذين الوقتين الذين يسجد فيهما الكفار للشمس وإن كان المؤمن لا يسجد إلا لله تعالى حسما لمادة المشابهة وسدا للذريعة. وفيه تنبيه على أن كل ما يفعله المشركون ينهى المؤمن عن ظاهره وإن لم يقصد التشبه فرارا من الموافقة في الصورة والظاهر.

“Para ulama mengatakan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang shalat di kedua waktu yang bersujud padanya orang-orang kafir kepada matahari, meskipun orang mukmin tidak sujud kecuali kepada Allah Ta’ala. Tujuannya adalah untuk memutus materi musyabahah (penyerupaan) dan menutup jalan. Di dalamnya juga ada peringatan bahwa setiap yang dilakukan kaum musyrikin maka kaum mukmin dilarang melakukannnya dari sisi zahir yang sama meski dia tidak bermaksud menyerupai (orang musyrik itu) demi menghindarkan diri dari ketersesuaian dalam bentuk dan dalam zahir (fenomena).”

Perkataan tersebut tidak dapat diartikan secara mutlak, mencakup terhadap semua bentuk ibadah seperti dzikir. Karena dzikir memang berbeda dengan sholat. Dalam hadits lain tentang dzikir, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَيْسَ يَتَحَسَّرُ أَهْلُ الْجَنَّةِ إِلا عَلَى سَاعَةٍ مَرَّتْ بِهِمْ لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ فِيهَا. رواه الحكيم ، الطبرانى والبيهقى فى شعب الإيمان الديلمى. قال الحافظ الدمياطي: إسناده جيد.

“Mu’adz bin Jabal berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak pernah menyesal penduduk surge kecuali karena satu waktu yang mereka lalui, sedangkan mereka tidak mengisinya dengan dzikir kepada Allah.” (HR. al-Hakim al-Tirmidzi (4/106), al-Thabarani [182], al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman [513], dan al-Dailami [5244]. Al-Hafizh al-Dimyathi berkata: sanad hadits ini jayyid. Lihat, al-Matjar al-Rabih hlm 205).

Hadits ini memberikan pesan, bahwa dzikir dianjurkan setiap saat, tanpa dibatasi dengan waktu. Oleh karena itu perkataan Syaikh al-Ghumari dalam al-Istinfar, demikian pula perkataan al-Hafizh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, keduanya sepertinya mengutip dari Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, tidak dapat diartikan secara mutlak. Bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah sendiri, mengamalkan dzikir sejak selesai shalat shubuh sampai Matahari naik ke atas. Syaikh Umar bin Ali al-Bazzar, murid Syaikh Ibnu Taimiyah berkata dalam al-A’lam al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyah (hal. 37-39):

فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاةِ أَثْنَى عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ وَمَنْ حَضَرَ بِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ الَلَّهُمَّ اَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ ثُمَّ يُقْبِلُ عَلَى الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاَتِ الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ ثَلاثًا وَثَلاثِيْنَ وَيَخْتِمُ الْمِائَةَ بِالتَّهْلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا الْجَمَاعَةُ ثُمَّ يَدْعُو اللهَ تَعَالى لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ. وَكَانَ قَدْ عُرِفَتْ عَادَتُهُ؛ لاَ يُكَلِّمُهُ أَحَدٌ بِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ بَعْدَ صَلاةِ الْفَجْرِ فَلاَ يَزَالُ فِي الذِّكْرِ يُسْمِعُ نَفْسَهُ وَرُبَّمَا يُسْمِعُ ذِكْرَهُ مَنْ إِلَى جَانِبِهِ، مَعَ كَوْنِهِ فِيْ خِلاَلِ ذَلِكَ يُكْثِرُ فِي تَقْلِيْبِ بَصَرِهِ نَحْوَ السَّمَاءِ. هَكَذَاَ دَأْبُهُ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَمْسُ وَيزُوْلَ وَقْتُ النَّهْيِ عَنِ الصَّلاةِ. وَكُنْتُ مُدَّةَ إِقَامَتِيْ بِدِمَشْقَ مُلاَزِمَهُ جُلَّ النَّهَارِ وَكَثِيْراً مِنَ اللَّيْلِ. وَكَانَ يُدْنِيْنِيْ مِنْهُ َحتَّى يُجْلِسَنِيْ إِلَى جَانِبِهِ، وَكُنْتُ أَسْمَعُ مَا يَتْلُوْ وَمَا يَذْكُرُ حِيْنَئِذٍ، فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ ـ أَعْنِيْ مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ ـ فِيْ تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا. فَفَكَّرْتُ فِيْ ذَلِكَ؛ لِمَ قَدْ لَزِمَ هَذِهِ السُّوْرَةَ دُوْنَ غَيْرِهَا؟ فَبَانَ لِيْ ـ وَاللهُ أَعْلَمُ ـ أَنَّ قَصْدَهُ بِذَلِكَ أَنْ يَجْمَعَ بِتِلاَوَتِهَا حِيْنَئِذٍ مَا وَرَدَ فِي اْلأَحَادِيْثِ، وَمَا ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ: هَلْ يُسْتَحَبُّ حِيْنَئِذٍ تَقْدِيْمُ اْلأَذْكَارِ الْوَارِدَةِ عَلَى تِلاَوَةِ الْقُرْآنِ أَوِ الْعَكْسُ؟ فرَأَى أَنَّ فِي الْفَاتِحَةِ وَتِكْرَارِهَا حِيْنَئِذٍ جَمْعاً بَيْنَ الْقَوْلَيْنِ وَتَحْصِيْلاً لِلْفَضِيْلَتَيْنِ، وَهَذَا مِنْ قُوَّةِ فِطْنَتِهِ وَثَاقِبِ بَصِيْرَتٍهٍ، اهـ (عمر بن علي البزار، الأعلام العلية في مناقب ابن تيمية، ص/37-39).

“Apabila Ibn Taimiyah selesai shalat shubuh, maka ia berdzikir kepada Allah bersama jamaah dengan doa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Allahumma antassalam . . . Lalu ia menghadap kepada jamaah, lalu membaca tahlil-tahlil yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu tasbih, tahmid dan takbir, masing-masing 33 kali. Dan diakhiri dengan tahlil sebagai bacaan yang keseratus. Ia membacanya bersama jamaah yang hadir. Kemudian ia berdoa kepada Allah SWT untuk dirinya dan jamaah serta kaum Muslimin. Kebiasaan Ibn Taimiyah telah maklum, ia sulit diajak bicara setelah shalat shubuh kecuali terpaksa. Ia akan terus berdzikir pelan, cukup didengarnya sendiri dan terkadang dapat didengar oleh orang di sampingnya. Di tengah-tengah dzikir itu, ia seringkali menatapkan pandangannya ke langit. Dan ini kebiasaannya hingga matahari naik dan waktu larangan shalat habis. Aku selama tinggal di Damaskus selalu bersamanya siang dan malam. Ia sering mendekatkanku padanya sehingga aku duduk di sebelahnya. Pada saat itu aku selalu mendengar apa yang dibacanya dan dijadikannya sebagai dzikir. Aku melihatnya membaca al-Fatihah, mengulang-ulanginya dan menghabiskan seluruh waktu dengan membacanya, yakni mengulang-ulang al-Fatihah sejak selesai shalat shubuh hingga matahari naik. Dalam hal itu aku merenung. Mengapa ia hanya rutin membaca al-Fatihah, tidak yang lainnya? Akhirnya aku tahu –wallahu a’lam–-, bahwa ia bermaksud menggabungkan antara keterangan dalam hadits-hadits dan apa yang disebutkan para ulama; yaitu apakah pada saat itu disunnahkan mendahulukan dzikir-dzikir yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam daripada membaca al-Qur’an, atau sebaliknya? Beliau berpendapat, bahwa dalam membaca dan mengulang-ulang al-Fatihah ini berarti menggabungkan antara kedua pendapat dan meraih dua keutamaan. Ini termasuk bukti kekuatan kecerdasannya dan pandangan hatinya yang jitu.” (Syaikh Umar bin Ali al-Bazzar, murid Syaikh Ibnu Taimiyah berkata dalam al-A’lam al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyah (hal. 37-39).

Kesimpulan dari riwayat ini, sehabis shalat shubuh Ibn Taimiyah berdzikir secara berjamaah, dan berdoa secara berjamaah pula seperti layaknya warga nahdliyyin. Pandangannya selalu diarahkan ke langit (yang ini tidak dilakukan oleh warga nahdliyyin). Sehabis itu, ia membaca surah al-Fatihah hingga matahari naik ke atas.

Rutinitas Syaikh Ibnu Taimiyah tersebut memberikan kesimpulan, bahwa dzikir tetap dianjurkan meskipun orang kafir sedang menyembah Matahari, atau orang Hindu sedang melakukan ritual keagamaan.

Dzikir Tahlilan tetap berjalan kapan saja, termasuk tujuh hari, hari ke-40, 100, 1000 dan lain-lain. Wallahu a’lam.

Share: