Praktek Shalat Nabi SAW menurut Madzhab Imam Syafi'i - Bagian I.

1Muslimedianews.com ~ Dikutip dari Matan Abu Syuja dan dilengkapi dalil-dalilnya oleh Syaikh Musthafa Deib Bugha

1. Niat sebelum melaksanakan shalat mengikuti firman Allah ta'ala di dalam surat al-Bayyinah ayat 5:

وما أمروا الا ليعبدوا الله مخلصين له الدين
Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali menyembah Allah dengan ikhlas dan baginya-lah agama

juga mengikut ketentuan di dalam hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim

انما الاعمال بالنيات
Bahwasanya amal perbuatan itu bergantung kepada niat.
CATATAN:
Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantany rah menjelaskan bahwa menurut pengertian syara' niat adalah menyengaja sesuatu yang berkaitan dengan keinginan untuk melakukan sesuatu dan tempat niat itu berada di dalam hati berdasarkan ijma para ulama. Tidak cukup dianggap niat yaitu mengucapkan dengan lisan namun hatinya lalai. Adapun mengenai hukum melafazkan niat shalat (usholli) apakah termasuk ke dalam perbuatan bid'ah atau dianjurkan, silakan lihat catatan saya sebelumnya.
2. Berdiri dengan kemampuan.
Sebagaimana disebutkan di dalam hadits riwayat Imam al-Bukhari (hadits nomor 1066) dari Umran ibn Hushain r.a.

كانت بي بواسير فسألت النبي صلى الله عليه وسلم عن الصلاة فقال صل قائما فان لم تستطع فقاعدا فان لم تستطع فعلى جنب
" saya pernah terkena penyakit bawasir (ambeien), lalu saya bertanya kepada Nabi saw (tentang bagaimana melaksanakan) shalat, Beliau saw menjawab:" shalatlah dalam keadaan berdiri, jika tidak sanggup duduklah. Jika kamu masih tidak sanggup duduk, shalatlah dalam keadaan berbaring"

3. Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits riwayat Imam Bukhari (hadits nomor 705) dan Imam Muslim (hadits nomor 390) dari Abdullah ibnu Umar r.a.:

رأيت النبي صلى الله عليه وسلم افتتح بالتكبير فرفع يديه حين يكبر حتى يجعلها حذو منكبيه
" saya melihat Nabi saw membuka (shalatnya) dengan mengucapkan takbir sambil beliau mengangkat kedua tangannya sampai menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya."

Di dalam Subulussalam (Jilid I, hal. 274) disebutkan riwayat Wail ibn Hujr yang menjelaskan bahwa Rasul saw mengangkat tangan ketika bertakbir, hingga dekat ujung kedua telingannya.

4. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri
Sebagaimana khabar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits nomor 401) dari Wail ibn Hujr r.a, bahwasanya ia melihat Nabi saw mengangkat kedua tangannya ketika shalat kemudian meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya.
CATATAN:
Riwayat dari Wail ibn Hujr r.a. ini ditemukan kelanjutannya di dalam Kitab " Bulughul Maram" karya al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalany. Wail ibn Hujr r.a. berkata:

" Saya shalat bersama Nabi saw, beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya" (hadits diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah).(Bulughul Maram, hadits Nomor 261) Di dalam riwayat Abu Dawud dan al-Nasa'iy disebutkan, "Rasul saw meletakkan telapak tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kirinya seperti memegang dan melepas)
Imam al-Nawawy rah di dalam "Minhaj al-Thalibin" mengatakan bahwa Rasul saw meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya di bawah dadanya. Bahwa yang dimaksud di dalam hadits Wail " di atas dadanya" maknanya menjelaskan posisi di antara dada dan di bawahnya. (Lihat Subulussalam, Imam al-Shan'any Jilid 1 hal. 284, terbitan Darul Bayan)

5. al-Tawajjuh (membaca doa iftitah wajjahtu wajhiya)

Sebagaimana disebutkan di dalam riwayat Imam Muslim (hadits Nomor 771) dari Ali ibn Abi Thalib r.a. dari Rasul saw bahwasanya Beliau saw bila mendirikan shalat beliau mengucapkan:

وَجَّهتُ وَجهِيَ لِلَّذى فَطَرَ السَّمَواَتِ وَالاَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أَنَا مِن المُشْرِكِيْنَ
wajjahtu wajhiya lil ladzi fatharas samawati wal ardha hanifan wa ana minal musyrikin
" aku hadapkan wajahku kepada yang menciptakan langit dan bumi dengan lurus, dan aku bukanlah golongan orang2 yang musyrik"
ان صلاتي ونسكي ومحياي ومما تي لله رب العالمين
inna shalaty wa nusuky wa mahyaaya wamamaati lillahi rabbil alamin
" sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah rabb alam semesta"

لا شريك له وبذلك امرت وانا من المسلمين
laa syarika lahu wa bidzaalika umirtu wa ana minal muslimin
" tiada sekutu bagi-Nya dan demikianlah aku diperintahkan dan aku termasuk ke dalam golongan orang2 yang tunduk/pasrah"

6. Membaca isti'adzah (a'udzu billah minas syaithanir rajim)

Mengikuti ketentuan di dalam Al-Qur'an surat al-Nahl (16) ayat 98

7. Membaca surat al-fatihah dengan mengeraskan bacaan Bismillah di bagian awalnya

Dalil tentang mengeraskan bacaan basmalah diriwayatkan dari Nu'aim al-Mujmiri, ia berkata: saya shalat di belakang Abu Hurairah r.a., ia membaca Bismillahirrahmanir rahim kemudian membaca Ummul Qur'an sampai akhir setelah itu membaca "aamiin"...setelah selesai shalat, Abu Hurairah r.a. berkata: " Demi zat yang menguasai diriku bahwa aku lebih menyerupai shalat Rasul saw dibandingkan kalian." Hadits Nomor 264 riwayat al-Nasa'iy dan Ibnu Khuzaimah, sebagaimana tertulis di dalam Bulughul Maram. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhary secara mu'allaq, diriwayatkan oleh al-Siraj dan Ibnu Hibban. Imam al-Shan'any rah menyatakan hadits ini sebagai hadits yang paling shahih mengenai mengeraskan bacaan Basmalah (Subulussalam Jilid I hal.290).

bersambung....

Oleh : KH. Abdi Kurnia Djohan

Share:

Praktek Shalat Nabi SAW menurut Madzhab Imam Syafi'i - Bagian.2 Muslimedianews.com

(Baca sebelumnya: Praktek Shalat Nabi SAW menurut Madzhab Imam Syafi'i - Bagian.1). Berikut adalah kelanjutannya:

8. Mengucapkan "aamiin" sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (hadits nomor 934) dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: " Rasul saw apabila membaca ayat:

غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ

beliau mengucapkan, "aamiin" hingga orang-orang yang ada di shaf pertama mendengarnya.

Ibnu Majah di dalam riwayatnya (hadits nomor 853) menambahkan," hingga masjid seolah-olah bergetar dengan bacaan (aamiin) itu."

Makmum disunnahkan untuk mengikuti bacaan amin itu sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (hadits nomor 749) dan Imam Muslim (hadits nomor 410), Rasul saw bersabda:" apabila imam membaca ,

غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ

maka ucapkanlah,"aamin", karena siapa yang ucapannya itu seiring dengan ucapan malaikat, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu." di dalam riwayat Imam Abu Dawud (hadits nomor 936) disebutkan ( apabila imam mengucapkan amin, ucapkanlah pula oleh kalian "amin")

9. Membaca surat dari Al-Qur'an yang mudah diingat, setelah surat al-fatihah.

Dalilnya adalah Qs al-Muzammi (73)l ayat 20:

فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْاَنِ
"karena itu bacalah apa yang mudah dari Al-Qur'an"

10. Mengeraskan bacaan pada tempatnya dan melemahkan bacaan pada tempatnya

Dalil:

a. Hadits Riwayat Imam al-Bukhary (hadits nomor 735) dan Imam Muslim (hadits nomor 463) dari Jubair ibn Muth'im r.a., ia berkata: " Saya mendengar Rasul saw membaca surat al-Thur pada saat shalat maghrib"

b. Hadits riwayat Imam al-Bukhary (hadits nomor 733) dan Imam Muslim (hadits nomor 449) dari Abdullah ibnu Abbas r.a., ia berkata: "Saya mendengar Rasul saw membaca surat "at-Tin" pada saat shalat Isya, dan tidak pernah saya dengar orang yang begitu indah ketika membacakannya selain daripada Rasul saw."

c. Hadits riwayat Bukhari (hadits nomor 733) dan Muslim (hadits nomor 449) dari Abdullah ibnu Abbas r.a.ketika menceritakan kehadiran bangsa jin untuk mendengarkan bacaan Al-Qur'an Rasul saw. Di dalam hadits itu disebutkan, ketika Rasul saw sedang melaksanakan shalat fajr (subuh)  bersama para sahabat, mereka mendengar bacaan Al-Qur'an dan mereka pun khusyu mendengarkan.

Ketiga hadits di atas menunjuk waktu-waktu shalat di mana bacaan Al-Qur'an dikeraskan. Adapun hadits yang menunjuk bahwa Rasul tidak mengeraskan bacaan adalah:

a. Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (hadits nomor 713) dari Khabbab r.a., ia pernah ditanya," Apakah Rasul saw (dahulu semasa hidupnya) membaca Al-Qur'an pada shalat dzuhur dan ashar?" Khabbab menjawab,"ya" Penanya,"bagaimana kamu tahu Rasul saw membaca?" Khabbab," kami melihat janggut beliau bergerak."

b. Hadits riwayat Bukhari (hadits nomor 738) dan Muslim (hadits nomor 396) dari Abu Hurairah r.a., ia berkata," di dalam setiap shalat, beliau saw selalu membaca Al-Qur'an, apa yang Rasul saw perdengarkan kepada kami, kami perdengarkan kepada kalian dan apa yang beliau sembunyikan (dari bacaan itu), juga kami sembunyikan (bacaan Al-Qur'an) itu.

CATATAN:
Syaikh Mustafa Deib Bugha menjelaskan bahwa bacaan Al-Qur'an dikeraskan pada waktu : 1. shalat subuh ; 2. awal waktu shalat maghrib dan Isya; 3. shalat jum'at; 4. dua shalat ied; 5. shalat gerhana bulan; 6. shalat istisqa; 7. shalat tarawih dan witir Ramadhan; 8. dua rakaat shalat sunnah tawaf yang dikerjakan pada malam hari dan waktu subuh;

Di dalam beberapa shalat, bacaan Al-Qur'an dibaca antara keras dan lemah (mutawasith) yaitu pada saat shalat sunnat mutlak,  dan shalat malam, sebagaimana dimaksudkan di dalam Al-Qur'an surat al-Israa (17) ayat 110:

وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيْلاً
"janganlah engkau mengeraskan suaramu di dalam shalat dan jangan (pula) merendahkannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu."
(bersambung)....

Oleh : KH. Abdi Kurnia Djohan

Share:

Dalil Melafadzkan atau Mengucapkan Niat Shalat, Puasa dan Ibadah Lainnya

Muslimedianews.com ~ Persoalan melafadzkan (membaca) niat di dalam ibadah khususnya di dalam shalat kembali menjadi permasalahan. Ramainya perdebatan mengenai masalah membaca niat muncul setelah umat membaca buku "Sifat Shalat Nabi saw" karya Syaikh Nashruddin al-Albany. Pada era tahun 1970-an persoalan ini memang pernah muncul, ketika para ustadz Muhammadiyyah mengeluarkan fatwa bid'ahnya mengucapkan "usholli" pada saat melakukan shalat atau ucapan "nawaitu shauma ghodin" pada saat melaksanakan ibadah puasa (shaum). Untuk mengklarifikasi, tuduhan bid'ah yang terlihat serampangan itu, pada kesempatan ini saya mengemukakan dalil-dalil yang membolehkan ucapan "usholli", "nawaitu shauma ghodin" atau melafadzkan niat di dalam ibadah.

DALIL TENTANG KEDUDUKAN NIAT
Di dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa amal perbuatan sangat bergantung kepada niat. Nabi Muhammad saw bersabda, sebagaimana diriwayatkan dari Amirul Mu'minin Umar ibn al-Khatthab r.a.:

اِنَّمَا الاَعْمَالُ باِلنِّيَاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Bahwasanya setiap amal (perbuatan) hanya bergantung kepada niat dan bahwasanya setiap urusan (juga) bergantung kepada apa yang diniatkan.

al-Imam al-Suyuthi rah di dalam karyanya " Al-Ashbah wa al-Nadzoir fil furu' " menjelaskan bahwa hadits innamal a'malu binniyyat ini merupakan pondasi dari sebagian besar ilmu agama. Imam al-Syafi'i r.a. sebagaimana dikutip oleh Imam al-Suyuthi rah, mengatakan bahwa dari hadits ini lahir 40 cabang pembahasan ilmu. Demikian besarnya perhatian para ulama, sebagaimana terekam dari penjelasan Imam al-Suyuthi tadi menegaskan bahwa persoalan niat mempunyai kedudukan tersendiri bahkan penting di dalam urusan agama.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya APAKAH NABI SAW MEMBACA NIAT KETIKA MELAKUKAN IBADAH?

Menjawab pertanyaan ini, saya akan lampirkan beberapa dalilnya:1.  Hadits riwayat Anas bin Malik bahwa Rasul saw mengucapkan niat ketika melaksanakan haji

عَن اَنَس رَضِي الله عَنه سَمِعْتُ رَسُولَ الله صَلى الله عليه وسلم يَقُولُ لَبَّيك  عُمْرَةً وَحَجًّا
Dari Anas ibn Malik r.a. ia berkata: Aku mendengar Rasul saw berujar mengucapkan niat hajinya,' Aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah dan haji" (HR Muslim, sebagaimana tertulis di dalam Syarah (penjelasan) Shahih Muslim karya Imam al-Nawawi rah Jilid VIII/hal.216)2.

Hadits Riwayat Umar ibn al-Khatthab dengan matan (isi) hadits yang lebih lengkap lagi mengenai niat haji Rasul saw:

عَنْ عُمر رضي الله عنه قال سَمِعتُ رَسولَ الله صلى الله عليه وسلم بِوَادى  العَقِيق  يَقُول اَتَانِى اللَّْيلةَ َاتِ رَبِّ فَقَالَ صَلِّ فِى هَذاَ الوَادِى المُبَارَك وَقُل عُمْرَةً فِى حَجَّةٍ
Dari Umar r.a. ia berkata Aku mendengar Rasul saw di lembah al-Aqiq berkata: " telah datang kepadaku tadi malam utusan Tuhanku (malaikat), ia berkata,' shalatlah (kamu wahai Rasul saw) di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah niat umrah untuk haji'. " (HR Bukhari Jilid 1/hal.89)

Kedua hadits di atas, bagi mereka yang baru belajar agama, pasti akan disanggah dengan komentar " Lho itu khan hadits tentang lafadz niat haji terus apa hubungannya dengan sholat?" Baiklah saya akan jawab. Meskipun hadits di atas menjelaskan masalah niat (mengucapkan niat) di dalam ibadah haji, tapi bukan berarti muatan hadits di atas, yaitu mengucapkan niat, hanya khusus untuk ibadah haji. Kesimpulan tersebut sesuai dengan kaidah di dalam ilmu ushul fikih:

 اِذَا وَرَدَ العَامُ عَلَى سَبَبٍ خَاصٍ فَالعِبْرَةُ لِعُمُومِ اللَّفْظِ لاَ لِخُصُوصِ السَّبَب
"Apabila ada nash (teks dalil baik Al-Qur'an ataupun hadits) yang bersifat umum karena sebab yang khusus, maka yang dianggap umum adalah nash bukan khususnya sebab".

Kaidah ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisy rah seorang ulama salaf (Ibnu Qudamah wa atsuruhu al-ushuliyyah hal. 233)  Dengan berpatokan kepada kaidah ushul fikih itu, kedua hadits di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Teks kedua hadits di atas muncul karena sebab yang khusus yaitu haji dan umrah;
2. Isi teks kedua hadits di atas dipandang bersifat umum karena Nabi Muhammad saw tidak menjelaskan bahwa lafadz niat itu hanya diucapkan pada saat haji dan umrah saja.

Lain halnya jika di belakang kedua teks hadits itu Nabi Muhammad saw menegaskan dengan kalimat "jangan kalian baca niat selain daripada haji dan umrah ini.", seperti terdapat di dalam hadits tentang membaca surat Al-fatihah di dalam shalat bagi makmum.

PANDANGAN ULAMA
Untuk menegaskan kesimpulan di atas, di sini saya akan lampirkan beberapa pandangan ulama mengenai melafadzkan niat. Pandangan ulama ini penting dikarenakan mereka memahami secara utuh makna Al-Qur'an dan sunnah.

1. Mazhab Imam Abu Hanifah. Para ulama pengikut mazhab Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa melafadzkan niat sunnah hukumnya  untuk membantu kesempurnaan niat di dalam hati. Silakan cek di (Al-Bada'i al-Shana'iy fi Tartib al-Syara'i Jilid I/hal.127, al-durru al-Mukhtar Jilid I/hal.406, al-Lubab Jilid I/hal.66)

2. Mazhab Imam Malik bin Anas (Maliky). Niat shalat adalah syarat sah di dalam shalat, sebaiknya niat tidak dilafadzkan kecuali ragu. Karena itu menjadi sunnah melafadzkan niat shalat untuk menghilangkan keraguan. silakan lihat di (al-Syarh al-Shaghir wa hasyiyatu al-Shawi Jilid I/hal.303 dan 305)

3. Mazhab Syafi'i, Sunnah melafadzkan niat menjelang takbiratul ihram dan wajib menentukan jenis shalat yang dilakukan (Lihat Imam al-Nawawy Majmu Syarah al-Muhazzab Jilid III/hal.243 dan hal 252)

4. Mazhab Hanbali, sunnah melafadzkan niat dengan lisan. Lihat al-Mughny Jilid 1/hal.464-469 dan Kasyf al-Qona Jilid 1/hal.364-370).

Itulah pandangan ulama mazhab dianggap mewakili mayoritas umat Islam ahlussunnah.

Adapun pandangan Syaikh bin Baz rah dan Syaikh al-albany yang menganggap membaca niat adalah bid'ah tidak dapat dijadikan sebagai alasan mengingat pandangan kedua ulama itu bersifat pribadi dan tidak dapat mewakili mayoritas. Hanya orang-orang yang kurang pengetahuan agamanya saja yang menganggap pendapat kedua ulama tersebut sejalan dengan sunnah Nabi saw.

KESIMPULAN
1. Mengucapkan lafadz niat di dalam ibadah bukanlah perkara bid'ah karena yang demikian telah disebutkan secara tersirat oleh Nabi Muhammad saw.
2. Suatu perbuatan dapat dikatakan bid'ah jika tidak ada contohnya baik di dalam Al-Qur'an ataupun di dalam sunnah Nabi Muhammad saw. Syaikh Nawawi al-bantany rah menambahkan kriteria perbuatan bid'ah adalah menyalahi perintah syariat.
3. Dengan membaca secara jelas kedua hadits shahih dan berpedoman kepada kaidah di dalam membaca dalil sebagaimana yang diajarkan oleh para ulama, tidak ditemukan persoalan bid'ah di dalam melafalkan niat ibadah apakah itu shalat, puasa, zakat, ataupun haji. 
4. Menganggap bid'ah sebuah perbuatan bukanlah perkara yang gampang karena konsekuensi tuduhan bid'ah adalah kesesatan yang berujung kepada kekufuran.

Semoga bermanfaat, Wallahu waliyyut Taufiq....Hasbunallah wa ni'mal wakil ni'mal maula wa ni'mannashir.

Share:

Tradisi Asyuro 10 Muharram dan Faidahnya

Muslimedia News - Media Islam | Voice of Muslim

Muslimedianews.com ~ SOAL: Setiap hari Asyura atau tanggal sepuluh Muharram, umat Islam banyak melakukan tradisi Islami yang baik. Apakah hal tersebut ada keterangannya dalam kitab para ulama yang mu’tabar dan diakui?

JAWAB: Ya jelas banyak, antara lain dalam kitab I’anah al-Thalibin karya Sayyid Bakri Syatha al-Dimyathi, dan penjelasan Syaikh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Qudus al-Makki, ulama Syafi’iyah terkemuka dan pengajar di Masjid al-Haram, dalam kitabnya Kanz al-Najah wa al-Surur fi al-Ad’iyah al-Ma’tsurah allati Tasyrah al-Shudur, halaman 82, sebagai berikut:

فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ عَشْرٌ تَتَّصِلْ # بِهَا اثْنَتَانِ وَلَهَا فَضْلُ نُقِلْ
صُمْ صَلِّ صِلْ زُرْ عَالِمًا عُدْ وَاكْتَحِلْ # رَأْسَ الْيَتِيْمِ امْسَحْ تَصَدَّقْ وَاغْتَسِلْ
وَسِّعْ عَلىَ الْعِيَالِ قَلِّمْ ظَفَرَا # وَسُوْرَةَ اْلإِخْلاَصِ قُلْ أَلْفًا تَصِلْ

Pada hari Asyura terdapat dua belas amalan yang memiliki keutamaan

1) Puasa
2) Memperbanyak ibadah shalat
3) Shilaturrahmi dengan keluarga dan family
4) Berziarah kepada ulama
5) Menjenguk orang sakit
6) Memakai celak mata
7) Mengusap kepala anak yatim
8) Bersedekat kepada fakir miskin
9) Mandi
10) Membuat menu makanan keluarga yang istimewa
11) Memotong kuku
12) Membaca surah al-Ikhlash 1000 kali.

SOAL: Maaf, itu kan keterangan dari ulama muta’akhkhirin, bukan ulama ahli hadits terdahulu. Kami ingin keterangan dari ulama ahli hadits masa lalu? Karena kami khawatir itu justrru tradisi Syiah, bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah.

JAWAB: Justru menurut ulama ahli hadits terdahulu, tradisi Asyura lebih banyak dari pada keterangan di atas. Misalnya seperti yang telah dijelaskan oleh al-Imam al-Hafizh Ibnu al-Jauzi al-Hanbali, (508-597 H/1114-1201 M), seorang ulama ahli hadits terkemuka bermadzhab Hanbali, yang menjelaskan dalam kitabnya al-Majalis sebagai berikut:

فَوَائِدُ فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ
اَلْفَائِدَةُ اْلأُوْلَى: يَنْبَغِيْ أَنْ تَغْسِلَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، وَقَدْ ذُكِرَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يَخْرِقُ فِيْ تِلْكَ اللَّيْلَةِ زَمْزَمَ إِلىَ سَائِرِ الْمِيَاهِ، فَمَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَئِذٍ أَمِنَ مِنَ الْمَرَضِ فِيْ جَمِيْعِ السَّنَةِ، وَهَذَا لَيْسَ بِحَدِيْثٍ، بَلْ يُرْوَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ. اْلفَائِدَةُ الثَّانِيَةُ: الصَّدَقَةُ عَلىَ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ. اْلفَائِدَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَمْسَحَ رَأْسَ الْيَتِيْمِ. اَلْفَائِدَةُ الرَّابِعَةُ أَنْ يُفَطِّرَ صَائِمَا. اَلْفَائِدَةُ الْخَامِسَةُ أَنْ يُسْقِيَ الْمَاءَ. اَلْفَائِدَةُ السَّادِسَةُ أَنْ يَزُوْرَ اْلإِخْوَانَ. اَلْفَائِدَةُ السَّابِعَةُ: أَنْ يَعُوْدَ الْمَرِيْضَ. اَلْفَائِدَةُ الثَّامِنَةُ أَنْ يُكْرِمَ وَالِدَيْهِ وَيَبُرَّهُمَا. الْفَائِدَةُ التَّاسِعَةُ أَنْ يَكْظِمَ غَيْظَهُ. اَلْفَائِدَةُ الْعَاشِرَةُ أَنْ يَعْفُوَ عَمَّنْ ظَلَمَهُ. اَلْفَائِدَةُ الْحَادِيَةَ عَشَرَةَ: أَنْ يُكْثِرَ فِيْهِ مِنَ الصَّلاَةِ وَالدُّعَاءِ وَاْلاِسْتِغْفَارِ. اَلْفَائِدَةُ الثَّانِيَةَ عَشَرَةَ أَنْ يُكْثِرَ فِيْهِ مِنْ ذِكْرِ اللهِ. اَلْفَائِدَةُ الثَّالِثَةَ عَشَرَةَ أَنْ يُمِيْطَ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ. اَلْفَائِدَةُ الرَّابِعَةَ عَشَرَةَ أَنْ يُصَافِحَ إِخْوَانَهُ إِذَا لَقِيَهُمْ. اَلْفَائِدَةُ الْخَامِسَةَ عَشَرَةَ: أَنْ يُكْثِرَ فِيْهِ مِنْ قِرَاءَةِ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ لِمَا رُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: مَنْ قَرَأَ فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ أَلْفَ مَرَّةٍ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ نَظَرَ اللهُ إِلَيْهِ وَمَنْ نَظَرَ إِلَيْهِ لَمْ يُعَذِّبْهُ أَبَدًا.

Beberapa faedah amalan shaleh pada hari Asyura

1) Mandi pada hari Asyura. Telah disebutkan bahwa Allah SWT membedah komunikasi air Zamzam dengan seluruh air pada malam Asyura’. Karena itu, siapa yang mandi pada hari tersebut, maka akan aman dari penyakir selama setahun. Ini bukan hadits, akan tetapi diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
2) Bersedekah kepada fakir miskin.
3) Mengusap kepala anak yatim.
4) Memberi buka orang yang berpuasa.
5) Memberi minuman kepada orang lain.
6) Mengunjungi saudara seagama.
7) Menjenguk orang sakit.
8) Memuliakan dan berbakti kepada kedua orang tua.
9) Menahan amarah dan emosi.
10) Memaafkan orang yang telah berbuat aniaya.
11) Memperbanyak ibadah shalat, doa dan istighfar.
12) Memperbanyak dzikir kepada Allah.
13) Menyingkirkan apa saja yang mengganggu orang di jalan.
14) Berjabatan tangan dengan orang yang dijumpainya.
15) Memperbanyak membaca surat al-Ikhlash sampai seribu kali. Karena atsar yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, barangsiapa yang membaca 1000 kali surah al-Ikhlash pada hada hari Asyura, maka Allah akan memandang-Nya. Siapa yang dipandang oleh Allah, maka Dia tidak akan mengazabnya selamanya. (Al-Hafizh Ibnu al-Jauzi al-Hanbali, kitab al-Majalis halaman 73-74, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah).

Jadi tradisi-tradisi tersebut bukan tradisi Syiah. Tetapi murni Islami dan Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan ahli hadits.

SOAL: Sebagian masyarakat Nusantara berbagi-bagi bubur pada hari Asyura. Apakah hal tersebut ada dalilnya?

JAWAB: Ya, berbagi bubur kepada tetangga itu kan bagian dari sedekah. Jelas ada dalilnya. Berkaitan dengan tradisi membuat makanan Bubur Syuro pada hari Asyura ini, ada hadits shahih yang mendasarinya.

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ سَنَتِهِ كُلِّهَا. حديث صحيح (رواه الطبرانى، والبيهقى).
“Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menjadikan kaya keluarganya (dalam hal belanja dan makanan) pada hari Asyura, maka Allah akan menjadikannya kaya selama satu tahun tersebut.” Hadits shahih. (HR. al-Thabarani dan al-Baihaqi).

Berkaitan dengan hadits tersebut, al-Imam al-Hafizh Ahmad al-Ghumari menulis kitab khusus tentang keshahihannya berjudul, Hidayah al-Shaghra’ bi-Tashhih Hadits al-Tausi’ah ‘ala al-‘Iyal Yauma ‘Asyura’. Bahkan al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, murid Syaikh Ibnu Taimiyah, berkata dalam kitabnya Lathaif al-Ma’arif, sebagai berikut:

وَقَالَ ابْنُ مَنْصُوْرٍ: قُلْتُ لأَحْمَدَ: هَلْ سَمِعْتَ فِي الْحَدِيْثِ: ( مَنْ وَسَّعَ عَلىَ أَهْلِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ أَوْسَعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ السَّنَةِ) فَقَالَ: نَعَمْ رَوَاهُ سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ جَعْفَرٍ اْلأَحْمَرِ عَنْ إِبْرَاهِيْمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْمُنْتَشِرِ وَ كَانَ مِنْ أَفْضَلِ أَهْلِ زَمَانِهِ أَنَّهُ بَلَغَهُ: أَنَّهُ مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ أَوْسَعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ فقَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ: جَرَّبْنَاهُ مُنْذُ خَمْسِيْنَ سَنَةً أَوْ سِتِّيْنَ سَنَةً فَمَا رَأَيْنَا إِلاَّ خَيْرًا. (الإمام الحافظ ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص ١٣٧-١٣٨).
“Ibn Manshur berkata, “Aku berkata kepada Imam Ahmad, “Apakah Anda mendengar hadits, “Barangsiapa yang menjadikan kaya keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan menjadikannya kaya selama setahun?” Ahmad menjawab, “Ya. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Sufyan bin Uyainah dari Ja’far al-Ahmar, dari Ibrahim bin Muhammad, dari al-Muntasyir –orang terbaik pada masanya-, bahwa ia menerima hadits, “Barangsiapa yang menjadikan kaya keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan menjadikannya kaya selama satu tahun penuh”. Sufyan bin Uyainah berkata, “Aku telah melakukannya sejak 50 atau 60 tahun, dan selalu terbukti baik.” (al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 137-138).

Perhatikan, ternyata tradisi sedekah Asyura telah berlangsung sejak generasi salaf.

SOAL: Berarti kelompok yang enggan melakukan tradisi Asyura dan bahkan hanya bisa mencela dan membid’ahkan tidak punya dasar ya?

JAWAB: Ya jelas tidak punya dasar.

SOAL: Apa sih gunanya mengusap kepala anak yatim pada hari Asyura?

JAWAB: Pertanyaan Anda dijelaskan dalam hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلاً شَكَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَقَالَ امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ وَأَطْعِمْ الْمِسْكِينَ. رواه أحمد. قال الحافظ الدمياطي ورجاله رجال الصحيح.
Dari Abu Hurairah, bahwa seorang laki-laki mengeluhkan hatinya yang keras kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu beliau bersabda: “Usaplah kepala anak yatim, dan berilah makan orang miskin.” (HR. Ahmad [9018]. Al-Hafizh al-Dimyathi berkata: “Para perawinya adalah para perasi hadits shahih.” Lihat, al-Hafizh al-Dimyathi, al-Matjar al-Rabih fi Tsawab al-‘Amal al-Shalih, hlm 259 [1507]).

Perhatikan, dalam hadits di atas, mengusap kepala anak yatim dan bersedekah makanan kepada kaum miskin termasuk kita yang jitu yang mengatasi hati yang keras. Kita perhatikan, orang yang tidak suka mengusap kepala anak yatim, dan membid’ahkan orang yang gemar selamatan, hatinya selalu keras, meskipun ribuan dalil disampaikan, masih saja hatinya menolak kebenaran. Hadaanallaahu waiyyaakum. Amin. Wallahu a’lam.

Oleh : Ustadz Muhammad Idrus Ramli

Share:

JAWABAN TERHADAP WAHABI ANTI TAHLILAN

JAWABAN TERHADAP WAHABI ANTI TAHLILAN
Dinding Facebook Muhammad Idrus Ramli / Muhammad Idrus Ramli

Beberapa waktu yang lalu, setelah kami menulis status tentang dalil-dalil bolehnya dzikir Tahlilan tujuh hari, hari ke-40, 100 dan 1000, dan bahwa hal tersebut tidak termasuk tasyabbuh yang dilarang, ada sebagian Wahabi yang menulis bantahan, dan mengutip dari kitab al-Istinfar karya Syaikh Ahmad al-Ghumari, dan al-Bidayah wa al-Nihayah karya al-Hafizh Ibnu Katsir al-Syafi’i. akan tetapi setelah kami lihat, ternyata argument bantahan tersebut sama sekali tidak mengena terhadap persoalan yang dibahas. Oleh karena itu, di sini kami tulis jawaban secara ilmiah.

WAHABI: Kita tidak boleh shalat ketika matahari tepat terbit dan matahari tepat terbenam karena matahari terbit dan terbenam antara dua tanduk setan, dan orang kafir sujud pada saat itu, maka kita dilarang tasyabbuh kepadanya.

صَلِّ صَلَاةَ الصُّبْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ

"Lakukan shalat Subuh kemudian berhentilah shalat sampai terbitnya matahari hingga dia agak naik meninggi, karena matahari itu terbit antara dua tanduk setan dan saat itulah orang-orang kafir sujud.:

Kemudian beliau juga bersabda di hadits yg sama:

ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ

"Kemudian hentikan shalat sampai terbenam matahari karena dia terbenam antara dua tanduk setan dan saat itulah orang-orang kafir bersujud."

SUNNI: “Sholat memang beda dengan dzikir dan Tahlilan. ketika matahari tepat terbit dan matahari tepat terbenam, sholat sunnah tidak boleh dilakukan. Tetapi untuk dzikir dan tahlilan justru dianjurkan. Dalam kitab-kitab dijelaskan:

عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من صلى الفجر فى جماعة ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم يصلى ركعتين كانت له كأجر حجة وعمرة تامة تامة تامة رواه الترمذى وقال حسن غريب

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang menunaikan shalat fajar (shubuh), kemudian duduk berdzikir kepada Allah hingga Matahari terbit, kemudian shalat dua raka’at, maka ia memperoleh pahala seperti pahala haji dan umroh sempurna sempurna sempurna.” (HR al-Tirmidzi, [586], dan berkata ini hadits hasan gharib).

عَنْ سَهْلِ بْنِ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ الْجُهَنِىِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ قَعَدَ فِى مُصَلاَّهُ حِينَ يَنْصَرِفُ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى يُسَبِّحَ رَكْعَتَىِ الضُّحَى لاَ يَقُولُ إِلاَّ خَيْرًا غُفِرَ لَهُ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ زَبَدِ الْبَحْرِ ». أخرجه أبو داود ، والطبرانى ، والبيهقى . وأخرجه أيضًا : أحمد

“Dari Sahal bin Mu’adz bin Anas al-Juhani, dari ayahnya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang duduk di tempat shalatnya ketika selesai shalat shubuh sampai menunaikan dua rakaat shalat dhuha, ia tidak berkata kecuali kebaikan, maka dosa-dosanya diampuni meskipun lebih banyak dari pada buih di lautan.” (HR. Abu Dawud [1287], al-Thabarani [442], al-Baihaqi [4686] dan Ahmad [15661]).

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لأَنْ أَقْعُدَ أَذْكُرُ اللهَ وَأُكَبِّرُهُ وَأَحْمَدُهُ وَأُسَبِّحُهُ وَأُهَلِّلُهُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ رَقَبَتَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَمِنْ بَعْدِ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَ رِقَابٍ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ

“Dari Abu Umamah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seandainya aku duduk berdzikir kepada Allah, mengagungkan-Nya, memuji-Nya, bertasbih dan bertahlil kepada-Nya hingga matahari terbit, lebih aku cintai daripada aku memerdekatan dua budak atau lebih dari keturunan Ismail. Dan dari setelah shalat ashar hingga matahari terbenam, lebih aku senangi daripada aku memerdekakan empat orang budak dari keturunan Ismail.” (HR Ahmad [22194], dan sanadnya hasan).

Dalam hadits-hadits di atas, dan hadits-hadits lain yang tidak kami sebutkan di sini, sangat jelas, bahwa waktu dzikir, termasuk tahlilan dan yasinan, lebih luwes dan lebih longgar dari pada waktu shalat. Meskipun orang-orang kafir sedang menyembah Matahari, atau orang Hindu sedang melakukan ritual keagamaan, dzikir seperti tahlilan tetap dianjurkan. Oleh karena itu, perkatan Syekh Ahmad Al Ghumari dalam kitabnya, "Al-Istinfar li Ghazwit Tasyabbuh bil Kuffar" hal. 33:

قال العلماء : نهى صلى الله عليه وسلم عن الصلاة في هذين الوقتين الذين يسجد فيهما الكفار للشمس وإن كان المؤمن لا يسجد إلا لله تعالى حسما لمادة المشابهة وسدا للذريعة. وفيه تنبيه على أن كل ما يفعله المشركون ينهى المؤمن عن ظاهره وإن لم يقصد التشبه فرارا من الموافقة في الصورة والظاهر.

“Para ulama mengatakan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang shalat di kedua waktu yang bersujud padanya orang-orang kafir kepada matahari, meskipun orang mukmin tidak sujud kecuali kepada Allah Ta’ala. Tujuannya adalah untuk memutus materi musyabahah (penyerupaan) dan menutup jalan. Di dalamnya juga ada peringatan bahwa setiap yang dilakukan kaum musyrikin maka kaum mukmin dilarang melakukannnya dari sisi zahir yang sama meski dia tidak bermaksud menyerupai (orang musyrik itu) demi menghindarkan diri dari ketersesuaian dalam bentuk dan dalam zahir (fenomena).”

Perkataan tersebut tidak dapat diartikan secara mutlak, mencakup terhadap semua bentuk ibadah seperti dzikir. Karena dzikir memang berbeda dengan sholat. Dalam hadits lain tentang dzikir, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَيْسَ يَتَحَسَّرُ أَهْلُ الْجَنَّةِ إِلا عَلَى سَاعَةٍ مَرَّتْ بِهِمْ لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ فِيهَا. رواه الحكيم ، الطبرانى والبيهقى فى شعب الإيمان الديلمى. قال الحافظ الدمياطي: إسناده جيد.

“Mu’adz bin Jabal berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak pernah menyesal penduduk surge kecuali karena satu waktu yang mereka lalui, sedangkan mereka tidak mengisinya dengan dzikir kepada Allah.” (HR. al-Hakim al-Tirmidzi (4/106), al-Thabarani [182], al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman [513], dan al-Dailami [5244]. Al-Hafizh al-Dimyathi berkata: sanad hadits ini jayyid. Lihat, al-Matjar al-Rabih hlm 205).

Hadits ini memberikan pesan, bahwa dzikir dianjurkan setiap saat, tanpa dibatasi dengan waktu. Oleh karena itu perkataan Syaikh al-Ghumari dalam al-Istinfar, demikian pula perkataan al-Hafizh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, keduanya sepertinya mengutip dari Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, tidak dapat diartikan secara mutlak. Bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah sendiri, mengamalkan dzikir sejak selesai shalat shubuh sampai Matahari naik ke atas. Syaikh Umar bin Ali al-Bazzar, murid Syaikh Ibnu Taimiyah berkata dalam al-A’lam al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyah (hal. 37-39):

فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاةِ أَثْنَى عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ وَمَنْ حَضَرَ بِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ الَلَّهُمَّ اَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ ثُمَّ يُقْبِلُ عَلَى الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاَتِ الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ ثَلاثًا وَثَلاثِيْنَ وَيَخْتِمُ الْمِائَةَ بِالتَّهْلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا الْجَمَاعَةُ ثُمَّ يَدْعُو اللهَ تَعَالى لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ. وَكَانَ قَدْ عُرِفَتْ عَادَتُهُ؛ لاَ يُكَلِّمُهُ أَحَدٌ بِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ بَعْدَ صَلاةِ الْفَجْرِ فَلاَ يَزَالُ فِي الذِّكْرِ يُسْمِعُ نَفْسَهُ وَرُبَّمَا يُسْمِعُ ذِكْرَهُ مَنْ إِلَى جَانِبِهِ، مَعَ كَوْنِهِ فِيْ خِلاَلِ ذَلِكَ يُكْثِرُ فِي تَقْلِيْبِ بَصَرِهِ نَحْوَ السَّمَاءِ. هَكَذَاَ دَأْبُهُ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَمْسُ وَيزُوْلَ وَقْتُ النَّهْيِ عَنِ الصَّلاةِ. وَكُنْتُ مُدَّةَ إِقَامَتِيْ بِدِمَشْقَ مُلاَزِمَهُ جُلَّ النَّهَارِ وَكَثِيْراً مِنَ اللَّيْلِ. وَكَانَ يُدْنِيْنِيْ مِنْهُ َحتَّى يُجْلِسَنِيْ إِلَى جَانِبِهِ، وَكُنْتُ أَسْمَعُ مَا يَتْلُوْ وَمَا يَذْكُرُ حِيْنَئِذٍ، فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ ـ أَعْنِيْ مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ ـ فِيْ تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا. فَفَكَّرْتُ فِيْ ذَلِكَ؛ لِمَ قَدْ لَزِمَ هَذِهِ السُّوْرَةَ دُوْنَ غَيْرِهَا؟ فَبَانَ لِيْ ـ وَاللهُ أَعْلَمُ ـ أَنَّ قَصْدَهُ بِذَلِكَ أَنْ يَجْمَعَ بِتِلاَوَتِهَا حِيْنَئِذٍ مَا وَرَدَ فِي اْلأَحَادِيْثِ، وَمَا ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ: هَلْ يُسْتَحَبُّ حِيْنَئِذٍ تَقْدِيْمُ اْلأَذْكَارِ الْوَارِدَةِ عَلَى تِلاَوَةِ الْقُرْآنِ أَوِ الْعَكْسُ؟ فرَأَى أَنَّ فِي الْفَاتِحَةِ وَتِكْرَارِهَا حِيْنَئِذٍ جَمْعاً بَيْنَ الْقَوْلَيْنِ وَتَحْصِيْلاً لِلْفَضِيْلَتَيْنِ، وَهَذَا مِنْ قُوَّةِ فِطْنَتِهِ وَثَاقِبِ بَصِيْرَتٍهٍ، اهـ (عمر بن علي البزار، الأعلام العلية في مناقب ابن تيمية، ص/37-39).

“Apabila Ibn Taimiyah selesai shalat shubuh, maka ia berdzikir kepada Allah bersama jamaah dengan doa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Allahumma antassalam . . . Lalu ia menghadap kepada jamaah, lalu membaca tahlil-tahlil yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu tasbih, tahmid dan takbir, masing-masing 33 kali. Dan diakhiri dengan tahlil sebagai bacaan yang keseratus. Ia membacanya bersama jamaah yang hadir. Kemudian ia berdoa kepada Allah SWT untuk dirinya dan jamaah serta kaum Muslimin. Kebiasaan Ibn Taimiyah telah maklum, ia sulit diajak bicara setelah shalat shubuh kecuali terpaksa. Ia akan terus berdzikir pelan, cukup didengarnya sendiri dan terkadang dapat didengar oleh orang di sampingnya. Di tengah-tengah dzikir itu, ia seringkali menatapkan pandangannya ke langit. Dan ini kebiasaannya hingga matahari naik dan waktu larangan shalat habis. Aku selama tinggal di Damaskus selalu bersamanya siang dan malam. Ia sering mendekatkanku padanya sehingga aku duduk di sebelahnya. Pada saat itu aku selalu mendengar apa yang dibacanya dan dijadikannya sebagai dzikir. Aku melihatnya membaca al-Fatihah, mengulang-ulanginya dan menghabiskan seluruh waktu dengan membacanya, yakni mengulang-ulang al-Fatihah sejak selesai shalat shubuh hingga matahari naik. Dalam hal itu aku merenung. Mengapa ia hanya rutin membaca al-Fatihah, tidak yang lainnya? Akhirnya aku tahu –wallahu a’lam–-, bahwa ia bermaksud menggabungkan antara keterangan dalam hadits-hadits dan apa yang disebutkan para ulama; yaitu apakah pada saat itu disunnahkan mendahulukan dzikir-dzikir yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam daripada membaca al-Qur’an, atau sebaliknya? Beliau berpendapat, bahwa dalam membaca dan mengulang-ulang al-Fatihah ini berarti menggabungkan antara kedua pendapat dan meraih dua keutamaan. Ini termasuk bukti kekuatan kecerdasannya dan pandangan hatinya yang jitu.” (Syaikh Umar bin Ali al-Bazzar, murid Syaikh Ibnu Taimiyah berkata dalam al-A’lam al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyah (hal. 37-39).

Kesimpulan dari riwayat ini, sehabis shalat shubuh Ibn Taimiyah berdzikir secara berjamaah, dan berdoa secara berjamaah pula seperti layaknya warga nahdliyyin. Pandangannya selalu diarahkan ke langit (yang ini tidak dilakukan oleh warga nahdliyyin). Sehabis itu, ia membaca surah al-Fatihah hingga matahari naik ke atas.

Rutinitas Syaikh Ibnu Taimiyah tersebut memberikan kesimpulan, bahwa dzikir tetap dianjurkan meskipun orang kafir sedang menyembah Matahari, atau orang Hindu sedang melakukan ritual keagamaan.

Dzikir Tahlilan tetap berjalan kapan saja, termasuk tujuh hari, hari ke-40, 100, 1000 dan lain-lain. Wallahu a’lam.

Share:

DALIL DOA AKHIR TAHUN DAN AWAL TAHUN

DALIL DOA AKHIR TAHUN DAN AWAL TAHUN
Dinding Facebook Muhammad Idrus Ramli / Muhammad Idrus Ramli

SOAL: “Apakah doa akhir tahun dan awal tahun ada dalilnya?

JAWAB: “Ya jelas ada dalilnya. Masak doa tidak ada dalilnya. Di dalam al-Qur’an Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ (60)

“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina". (QS. Ghafir : 60).

Ayat di atas memberikan pesan agar kita selalu berdoa kepada Allah, dan Allah menjanjikan akan mengabulkan doa kita. Sedangkan orang yang sombong dari menyembah-Nya seperti tidak mau berdoa kepada-Nya, diancam dimasukkan ke neraka Jahanam.

Perintah berdoa dalam ayat di atas bersifat mutlak dan umum. Karena itu berdoa pada akhir tahun dan awal tahun, masuk dalam keumuman perintah ayat tersebut.”

SOAL: “Tapi dalil khusus akhir tahun dan awal tahun kok tidak ada.”

JAWAB: “Ada, yaitu diqiyaskan dengan doa awal waktu dan akhir waktu. Misalnya doa pada awal bulan dan akhir bulan. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan:

DOA AWAL BULAN

عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَأَى الْهِلاَلَ قَالَ: " اَللهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَاْلإِيْمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَاْلإِسْلاَمِ رَبِّيْ وَرَبُّكَ اللهُ " رواه الدارمي والترمذي وقال: حديث حسن

Dari Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila melihat hilal (bulan pada tanggal 1, 2 dan 3), maka beliau berdoa: “Ya Allah, perlihatlah bulan ini kepada kami dengan kebahagiaan, keimanan, keselamatan dan keislaman. Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.” (HR. al-Darimi [1730] dan al-Tirmidzi [3451]. Al-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan”.).

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى الْهِلاَلَ قَالَ : " اَللهُ أَكْبَرْ ، اَللّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِاْلأَمْنِ وَاْلإِيْمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَاْلإِسْلاَمِ ، وَالتَّوْفِيْقِ لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى ، رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللهُ ". رواه الدارمي

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila melihat hilal, maka berdoa: “Allah Maha Besar. Ya Allah, perlihatkanlah bulan ini kepada kami dengan keamanan, keimanan, keselamatan, keislaman dan pertolongan pada apa yang Engkau cintai dan Engkau ridhai. Tuhan kami dan Tuhanmu adalah Allah.” (HR. al-Darimi [1729]).

عَنْ قَتَادَةَ ، أَنَّهُ بَلَغَهُ ، أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَأَى الْهِلاَلَ قَالَ : " هِلاَلُ خَيْرٍ وَرُشْدٍ ، هِلاَلُ خَيْرٍ وَرُشْدٍ ، هِلاَلُ خَيْرٍ وَرُشْدٍ ، آَمَنْتُ بِاللهِ الَّذِيْ خَلَقَكَ " ، ثلاث مرات ، ثم يقول : " اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ ذَهَبَ بِشَهْرِ كَذَا وَجَاءَ بِشَهْرِ كَذَا ". رواه ابو داود

Dari Qatadah, bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila melihat hilal, maka berdoa: “Semoga bulan ini membawa kebaikan dan petunjuk. Semoga bulan ini membawa kebaikan dan petunjuk. Semoga bulan ini membawa kebaikan dan petunjuk. Aku beriman kepada Allah yang telah menciptakanmu.” Sebanyak tiga kali, kemudian berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah membawa pergi bulan ini, dan datang dengan bulan ini.” (HR. Abu Dawud [5092]).

Hadits-hadits di atas menunjukkan anjuran membaca doa pada awal bulan, setelah perginya bulan sebelumnya. Doa akhir tahun dan awal tahun, dianjurkan juga, dengan diqiyaskan pada doa awal bulan di atas. Di sisi lain, dalam kitab-kitab hadits juga disebutkan doa-doa yang dianjurkan pada awal terbitnya Matahari dan setelah terbenamnya Matahari, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab tentang doa dan dzikir, seperti kitab al-Adzkar karya al-Imam an-Nawawi dan semacamnya. Wallahu a’lam.

SOAL: “Kalau dalil doa akhir tahun dan awal tahun tersebut didasarkan pada dalil qiyas, apakah hal ini dapat dibenarkan?”

JAWAB: “Ya tentu dapat dibenarkan. Qiyas dalam ibadah telah dilakukan oleh para ulama sejak generasi salaf, para sahabat, ahli hadits dan para imam madzhab, termasuk Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Bukhari dan lain-lain. Bahkan Syaikh Ibnu Baz juga banyak melakukan qiyas dalam bab ibadah, sebagaimana dapat dibaca dalam sebagian fatwa-fatwa beliau.

SOAL: “Apakah penjelasan khasiat doa akhir tahun dan awal tahun tersebut dapat dibenarkan?”

JAWAB: “Ya tentu saja dapat dibenarkan. Khasiat ayat al-Qur’an, doa dan dzikir telah diakui oleh seluruh ulama. Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah, murid terkemuka Syaikh Ibnu Taimiyah, panutan kaum Wahabi-(bukan-Salafi), berkata:

وَمِنَ الْمَعْلُوْمِ أَنَّ بَعْضَ الْكَلامِ لَهُ خَوَاصُّ وَمَنَافِعُ مُجَرَّبَةٌ فَمَا الظَّنُّ بِكَلامِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ الَّذِيْ فَضْلُهُ عَلَى كُلِّ كَلامٍ كَفَضْلِ اللهِ عَلَى خَلْقِهِ الَّذِيْ هُوَ الشِّفَاءُ التَّامُّ وَالْعِصْمَةُ النَّافِعَةُ وَالنُّوْرُ الْهَادِيْ وَالرَّحْمَةُ العَامَّةُ الَّذِيْ لَوْ أُنْزِلَ عَلَى جَبَلٍ َتَصَدَّعَ مِنْ عَظَمَتِهِ وَجَلالَتِهِ قَالَ تَعَالَى وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ للمؤمنين [ الإسراء: 82 ] وَ مِنْ هَا هُنَا لِبَيَانِ الْجِنْسِ لاَ لِلتَّبْعِيْضِ هَذَا أَصَحُّ الْقَوْلَيْنِ. (ابن القيم، زاد المعاد في هدي خير العباد، 2/162).

“Dan telah dimaklumi bahwa sebagian perkataan manusia memiliki sekian banyak khasiat dan aneka kemanfaatan yang dapat dibuktikan. Apalagi ayat-ayat al-Qur’an selaku firman Allah, Tuhan semesta alam, yang keutamaannya atas semua perkataan sama dengan keutamaan Allah atas semua makhluk-Nya. Tentu saja, ayat-ayat al-Qur’an dapat berfungsi sebagai penyembuh yang sempurna, pelindung yang bermanfaat dari segala marabahaya, cahaya yang memberi hidayah dan rahmat yang merata. Dan andaikan al-Qur’an itu diturunkan kepada gunung, niscaya ia akan pecah karena keagungannya. Allah telah berfirman: “Dan kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. al-Isra’: 82). Kata-kata “dari al-Qur’an”, dalam ayat ini untuk menjelaskan jenis, bukan bermakna sebagian menurut pendapat yang paling benar. (Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma’ad, 2/162).

Perhatikan, dalam pernyataan di atas, Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah menjelaskan bahwa khasiat doa dan dzikir termasuk hal yang dimaklumi di kalangan umat Islam. Bagi yang tidak percaya dengan khasiat tersebut, tangisilah dirinya, karena telah menyimpang dari kemakluman yang diakui dalam agama.”

SOAL: “Dari mana untuk mengetahui khasiat ayat al-Qur’an, doa dan dzikir?”

JAWAB: “Sebagian dari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian juga dari pengalaman orang-orang shaleh dan ilham yang diterima oleh para auliya atau orang-orang yang ma’rifat kepada Allah. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an.”

SOAL: “Apakah kepercayaan terhadap khasiat yang diperoleh dari kaum para auliya dan orang-orang shaleh tidak merusak akidah Islam.”

JAWAB: “Tidak merusak. Bahkan mempercayai khasiat yang diperoleh dari pengalaman dan ilham para auliya dan orang shaleh termasuk bagian dari akidah umat Islam. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah dalam al-‘Aqidah al-Wasithiyyah.”

SOAL: “Siapa dari kalangan ulama yang menganjurkan doa akhir tahun dan awal tahun?”

JAWAB: “Ya banyak sekali, terutama ulama Timur Tengah dan seluruh dunia. Bisa Anda baca dalam kitab Kanz al-Najah wa al-Surur fi al-Ad’iyah al-Ma’tsurah allati Tasyrahu al-Shudur, karya Syaikh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Qudus al-Makki al-Syafi’i, (1277-1335 H).”

Wallahu a’lam. Bersambung …

Share:

KESALAHAN WAHABI TENTANG KENDURI TAHLILAN

KESALAHAN WAHABI TENTANG KENDURI TAHLILAN Jawaban terhadap artikel Ustadz Wahabi...
Dinding Facebook Muhammad Idrus Ramli / Muhammad Idrus Ramli / 31 hari lalu

Jawaban terhadap artikel Ustadz Wahabi pasca Dialog Batam

Soal: Mengapa Anda mengatakan bahwa kenduri kematian selama tujuh hari itu hukumnya makruh?

Jawab: Karena kitab-kitab Syafi’iyyah semuanya mengatakan makruh, tidak ada yang mengatakan haram. Lebih jelasnya, hidangan kenduri kematian ini memiliki beberapa hukum. Pertama, dihukumi makruh apabila hidangan diambilkan dari harta keluarga duka cita. Kedua, hukumnya haram apabila hidangan diambilkan dari harta warisan, sedangkan di antara ahli waris ada mahjur ‘alaihi (orang yang dilarang mengelola hartanya semisal karena masih kecil dan belum dewasa). Ketiga, hukumnya boleh apabila hidangan hasil sumbangan dari tetangga atau kerabat jauh.

Soal: Kata sebagian Ustadz Wahabi, Syaikhul Islmaa Zakariyaa al-Anshoori mengharamkan kenduri kematian. Menurut Anda bagaimana?

Jawab: Memang Ustadz Wahabi tersebut ngeyel dengan pemahamannya bahwa Syaikhul Islaam Zakariyaa al-Anshoori mengharamkan kenduri kematian. Setelah kami lihat pernyataan Syaikhul Islaam dalam Asna al-Mathaalib, ternyata Ustadz Wahabi tersebut salah faham terhadap redaksi Syaikhul Islaam. Sepertinya belum akrab dengan redaksi kitab-kitab fiqih Syafi’iyyah.

Soal: Jadi Syaikhul Islaam sendiri tidak mengharamkan kenduri.

Jawab: Sama sekali tidak. Itu hanya pemahaman Ustadz Wahabi itu tadi.

Soal: Tolong dijelaskan secara rinci, redaksi Syaikhul Islaam dalam Asna al-Mathaalib tersebut, agar tidak menimbulkan kesalahafaman di antara kami.

Jawab: Ustadz Wahabi tersebut berkata: Justru ada keterangan dari ulama syafi'iyah akan haramnya acara kenduri kematian. Syaikhul Islaam Zakariyaa Al-Anshoori As- Syafi'i (wafat 926 H) berkata dalam kitabnya : Asna Al-Mathoolib Fi Syarh Roudh At-Thoolib (1/335, terbitan Daarul Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, Libanon, cetakan pertama dengan tahqiq DR Muhammad Taamir):

ﻭَﻳُﻜْﺮَﻩُ ﻟِﺄَﻫْﻠِﻪِ ﺃَﻱْ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻃَﻌَﺎﻡٌ ﺃَﻱْ ﺻُﻨْﻊُ ﻃَﻌَﺎﻡٍ ﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃَﺧَﺬَ ﻛَﺼَﺎﺣِﺐِ ﺍﻟْﺄَﻧْﻮَﺍﺭِ ﺍﻟْﻜَﺮَﺍﻫَﺔَ ﻣﻦ ﺗَﻌْﺒِﻴﺮِ ﺍﻟﺮَّﻭْﺿَﺔِ ﻭَﺍﻟْﻤَﺠْﻤُﻮﻉِ ﺑِﺄَﻥَّ ﺫﻟﻚ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻏَﻴْﺮُ ﻣُﺴْﺘَﺤَﺐٍّ ﻭَﺍﺳْﺘَﺪَﻝَّ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺍﻟْﻤَﺠْﻤُﻮﻉِ ﺑِﻘَﻮْﻝِ ﺟَﺮِﻳﺮِ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻛﻨﺎ ﻧَﻌُﺪُّ ﺍﻟِﺎﺟْﺘِﻤَﺎﻉَ ﺇﻟَﻰ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻭَﺻُﻨْﻌَﻬُﻢْ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡَ ﺑَﻌْﺪَ ﺩَﻓْﻨِﻪِ ﻣﻦ ﺍﻟﻨِّﻴَﺎﺣَﺔِ ﺭَﻭَﺍﻩُ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡُ ﺃَﺣْﻤَﺪُ ﻭﺍﺑﻦ ﻣَﺎﺟَﻪْ ﺑِﺈِﺳْﻨَﺎﺩٍ ﺻَﺤِﻴﺢٍ ﻭَﻟَﻴْﺲَ ﻓﻲ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔِ ﺍﺑْﻦِ ﻣَﺎﺟَﻪْ ﺑَﻌْﺪَ ﺩَﻓْﻨِﻪِ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﻇَﺎﻫِﺮٌ ﻓﻲ ﺍﻟﺘَّﺤْﺮِﻳﻢِ ﻓَﻀْﻠًﺎ ﻋﻦ ﺍﻟْﻜَﺮَﺍﻫَﺔِ ﻭَﺍﻟْﺒِﺪْﻋَﺔِ ﺍﻟﺼَّﺎﺩِﻗَﺔِ ﺑِﻜُل منهما.

“Dimakruhkan bagi keluarga si mayat membuat makanan, lalu mengumpulkan masyarakat untuk memakannya. Hukum makruh ini diambil –sebagaimana dilakukan oleh penulis kitab al-Anwar-, dari redaksi kitab al-Raudhah dan al-Majmu’, yang menjelaskan bahwa hal itu bid’ah yang tidak sunnah (mustahabb). Imam al-Nawawi berdalil dalam al-Majmu’, dengan perkataan Jarir bin Abdullah al-Bajali, “Kami menganggap berkumpul kepada keluarga mayit, dan makanan buatan mereka, termasuk niyahah.” Hadits ini secara zhahir mengharamkan, apalagi bagi hukum makruh dan dan bid’ah yang cocok dengan keduanya (haram dan makruh).”

Soal: Jadi redaksi di atas, menegaskan hukum makruh, bukan haram?”

Jawab: Jelas sekali, redaksi di atas menegaskan hukum makruh, bukan haram. Coba Anda perhatikan:

“Dimakruhkan bagi keluarga si mayat membuat makanan, lalu mengumpulkan masyarakat untuk memakannya. Hukum makruh ini diambil –sebagaimana dilakukan oleh penulis kitab al-Anwar-, dari redaksi kitab al-Raudhah dan al-Majmu’, yang menjelaskan bahwa hal itu bid’ah yang tidak sunnah (mustahabb).”

Nah, tidak ada penjelasan haram kan? Justru makruh yang ditegaskan. Hukum makruh tersebut kesimpulan dari pernyataan Imam Nawawi dalam Raudhah dan al-Majmu’, yang menegaskan “bid’ah yang tidak sunnah (mustahabb)”. Maksud tidak sunnah kan makruh, bukan haram.

Soal: Bagaimana dengan pernyataan Syaikhul Islaam Zakariya sesudahnya, “Hadits ini secara zhahir mengharamkan, apalagi bagi hukum makruh dan dan bid’ah yang cocok dengan keduanya (haram dan makruh)”, apakah tidak mengarah pada keharaman?

Jawab: Jelas tidak mengarah pada kehamaran. Maksud pernyataan tersebut:

1) Secara zhahir, hadits Jadir mengarah pada keharaman
2) Syaikhul-Islaam Zakariya bermadzhab Syafi’i, bukan bermadzhab Zhahiri
3) Pernyataan tersebut dalam rangka mendalili kemakruhan, bukan keharaman. Seakan-akan Syaihul Islam berkata: “Hadits Jarir ini secara zhahir saja bisa mengarah pada keharaman, apalagi kepada kemakruhan dan kebid’ahan.”
4) Kalau Ustadz Wahabi ngeyel memahaminya mengharamkan, berarti redaksi berikutnya yang berupa:

ﻓَﻀْﻠًﺎ ﻋﻦ ﺍﻟْﻜَﺮَﺍﻫَﺔِ ﻭَﺍﻟْﺒِﺪْﻋَﺔِ ﺍﻟﺼَّﺎﺩِﻗَﺔِ ﺑِﻜُل منهما.

tidak ada gunanya. Karenanya, dalam memahami perkataan para ulama, dipahami secara keseluruhan, jangan sepotong-sepotong.

Soal: Owh iya ya. Jadi Ustadz Wahabi tersebut tidak faham terhadap maksud perkataan Syaikhul Islam Zakariya, tetapi ngeyel.

Jawab: Ya, beliau kurang faham. Karena itu, setelah periode Syaikhul Islaam, tidak ada seorang pun ulama yang mengharamkan. Termasuk murid beliau, al-Imam al-Muhaqqiq Syihabuddin Ibnu Hajar al-Haitami, dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, juz 2 halaman 7. Hanya sebatas memakruhkan, dan kendurinya juga dapat pahala.

Soal: Kata Ustadz Wahabi, kok bisa makruh dapat pahala?

Jawab: Ya itulah Ustadz Wahabi memang sering tidak bisa memahami dengan baik pernyataan para ulama. Makruh dilakukan dapat pahala, karena mereka melakukan bukan karena kemakruhannya, tetapi karena factor lain yang dibenarkan oleh syari’at, seperti untuk menolak fitnah dari masyarakat dan lain sebagainya. Silahkan baca fatwa al-Imam Ibnu Hajar juz 2 hlm 7. Kalau orang melakukan perkara makruh, karena factor kemakruhannya, ya jelas tidak dapat pahala. Sama dengan merokok, pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Syafi’i hukumnya makruh. Kalau orang menghadiahkan rokok karena kemakruhannya, jelas tidak dapat pahala. Tapi kalau menghadiahkan rokok karena idkholussurur (menyenangkan saudara seiman), atau karena silaturrahmi, ya dapat pahala juga.

Soal: Apakah pendapat radikal Ustadz Wahabi tersebut, gambaran dari ulama Wahabi yang asli?

Jawab: Tidak juga. Justru ulama Wahabi yang alim, tidak begitu radikal seperti ustadz Wahabi tersebut. Misalnya, Syaikh Ibnu Baz, dalam fatwa-fatwanya cenderung toleran dan moderat.

1) MUFTI WAHABI BOLEHKAN SUGUHAN TAMU DARI KELUARGA MAYIT

أما أهل الميت إذا صنعوا ذلك فلا بأس لأنفسهم أو لضيوف نزلوا بهم فلا بأس . (مجموع فتاوى ومقالات متنوعة، ابن باز، 7/431)

Apabila keluarga mayit membuat makanan untuk diri mereka, atau untuk tamu yang singgah pada mereka, maka hukumnya boleh, tidak makruh.

ولا حرج عليهم أن يصنعوا لأنفسهم الطعام العادي لأكلهم وحاجاتهم وهكذا إذا نزل بهم ضيف لا حرج عليهم أن يصنعوا له طعاما يناسبه لعموم الأدلة في ذلك (مجموع فتاوى ومقالات متنوعة، ابن باز، 9/318)

Keluarga mayit boleh membuat makanan untuk tamu yang singgah pada mereka, dengan makanan yang relevan dengan tamunya. (9/318).

2) MUFTI WAHABI BOLEHKAN HIDANGAN RINGAN DARI KELUARGA MAYIT

حكم حضور مجلس العزاء والجلوس فيه
س : هل يجوز حضور مجلس العزاء والجلوس معهم ؟ (1)
ج : إذا حضر المسلم وعزى أهل الميت فذلك مستحب ؛ لما فيه من الجبر لهم والتعزية ، وإذا شرب عندهم فنجان قهوة أو شاي أو تطيب فلا بأس كعادة الناس مع زوارهم . (مجموع فتاوى ومقالات متنوعة، ابن باز، 13/371)

Menghadiri majlis ta’ziyah (MAJLIS TAHLILAN SAMA SAJA), hukumnya sunnah. Minum segelas gahwa dan teh, atau minyak wangi, dari keuarga mayit, hukumnya boleh.

3) MUFTI WAHABI BOLEHKAN UNDANGAN KENDURI KEMATIAN

حكم دعوة أهل الميت
من يأكل معهم ما بعث لهم
س : إذا بعث لأهل الميت غداء أو عشاء فاجتمع عليه الناس في بيت الميت ، هل هو من النياحة المحرمة؟
ج : ليس ذلك من النياحة ؛ لأنهم لم يصنعوه وإنما صنع ذلك لهم ، ولا بأس أن يدعوا من يأكل معهم من الطعام الذي بعث لهم ؛ لأنه قد يكون كثيرا يزيد على حاجتهم . (مجموع فتاوى ومقالات متنوعة، ابن باز، 13/387)

Keluarga mayit boleh mengundang orang banyak untuk makan makanan mereka hasil kontribusi atau sumbangan dari tetangga yang melebihi dari kebutuhan.

4) MUFTI WAHABI BOLEHKAN HIDANGAN KEMATIAN ‘ASYA’ AL-WALIDAIN
Tradisi di Saudi Arabia, apabila ada orang meninggal, maka setelah berlalu satu atau dua bulan, sebagian anaknya membuat hidangan makanan, lalu mengundang tetangga dan kerabat untuk makan, sebagai sedekah bagi orang tua yang meninggal. Tradisi ini disebut dengan ‘asya’ al-walidain, dan mufti wahabi membolehkan. (13/253)

عشاء الوالدين
س : الأخ أ. م. ع. من الرياض يقول في سؤاله : نسمع كثيرا عن عشاء الوالدين أو أحدهما ، وله طرق متعددة ، فبعض الناس يعمل عشاء خاصة في رمضان ويدعو له بعض العمال والفقراء ، وبعضهم يخرجه للذين يفطرون في المسجد ، وبعضهم يذبح ذبيحة ويوزعها على بعض الفقراء وعلى بعض جيرانه ، فإذا كان هذا العشاء جائزا فما هي الصفة المناسبة له ؟ (1)
ج : الصدقة للوالدين أو غيرهما من الأقارب مشروعة ؛ لقول « النبي صلى الله عليه وسلم : لما سأله سائل قائلا : هل بقي من بر أبوي شيء أبرهما به بعد موتهما ؟ قال نعم الصلاة عليهما والاستغفار لهما وإنفاذ عهدهما من بعدهما وإكرام صديقهما وصلة الرحم التي لا توصل إلا بهما »(مجموع فتاوى ومقالات متنوعة، ابن باز، 13/253)

Dalam fatwa-fatwa di atas, Syaikh Ibnu Baz, mufti Wahabi, tidak jauh beda dengan fatwa fuqaha madzhab arba’ah yang lain.

Wallohu A'lamu Bisshowab
Ustadz Idrus Ramli.

Share: