Hakikat Ahlussunnah wal Jama'ah yang Sesungguhnya

Muslimedianews.com ~ Sesuatu yang paling berharga yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba adalah aqidah yang benar. Maka ilmu yang membahas tentang aqidah yang benar adalah ilmu yang amat penting dibandingkan ilmu-ilmu yang lainya. Dan diskusi-diskusi yang diadakan jika hal itu untuk membela dan menjaga aqidah yang benar maka itu adalah sebaik-baik diskusi. Saat ini kami sungguh sangat berbahagia jika pada kesempatan ini kami para alim ulama untuk bersama-sama mendiskusikan aqidah dan bagaimana upaya kita untuk menjaga aqidah umat. Kami yakini bahwa kita semua akan senantiasa dalam lindungan dan pertolongan Allah sesuai janji Allah
ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺟَﺎﻫَﺪُﻭﺍ ﻓِﻴﻨَﺎ ﻟَﻨَﻬْﺪِﻳَﻨَّﻬُﻢْ ﺳُﺒُﻠَﻨَﺎ ۚ ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻟَﻤَﻊَ ﺍﻟْﻤُﺤْﺴِﻨِﻴﻦَ
“Dan mereka yang bersungguh-sungguh mencari kebenaran-Ku sungguh Aku akan memberi petunjuk kepada mereka (Al-Ankabut ayat 69)”.
Menjaga aqidah umat adalah sebaik-baik hadiah yang diberikan oleh para ulama kepada mereka kapan dan dimanapun berada.
Lebih-lebih disaat merebaknya fitnah-fitnah yang menggerogoti aqidah-aqidah seperti yang kita rasakan dan saksikan pada saat ini. Bahkan ada diantara kita yang sudah keropos aqidahnya namun ia tidak merasa tergerogoti. Umat islam adalah umat yang besar akan tetapi sering lengah dengan jumlah yang besar ini sehingga kadang-kadang kita kurang mencermati hal-hal yang disusupkan musuh-musuh Allah dalam tubuh umat Islam. Maka dalam kesempatan pertemuan ini kami ingin menghadirkan sekilas tentang aqidah yang benar untuk bisa menjadi bekal bagi kita didalam menegakkan dan menjaga aqidah umat Islam dunia dan Indonesia khususnya yang Alhamdulillah dari generasi ke gernerasi mereka pada aqidah yang benar yaitu ahlu sunnah wal jamaah.
Pertolonganpertamadizaman fitnahaqidah
Yang kami maksud pertolongan pertama dizaman fitnah aqidah ini adalah bagaimana kita menghadirkan hal terpenting dan mendesak yang dibutuhkan oleh ummat dalam upaya membentengi aqidah yang benar.
Ada dua hal yang secara subtansi dan maknawi tidak terlalu penting akan tetapi hal tersebut perlu diperhatikan lebih karena dari situlah kesesatan akan masuk. Dua hal tersebut yang pertama mengenal sebuah identitas dan yang kedua adalah mempertahankan manhaj talaqqi.
1. Mengenalsebuahidentitas
Di dalam kita berbicara untuk menjelaskan aqidah yang benar sangat sulit kalau seandainya hanya dalam ceramah yang singkat atau dalam pertemuan yang sesaat. Akan tetapi dengan menyadari dan memahami sebuah identitas diri kebenaran aqidahnya bisa dengan sangat mudah di jaga dan di kontrol agar seseorang tidak terbawa masuk dalam kelompok aqidah yang salah atau sesat. Dan hal ini bisa kita saksikan dalam amaliyah-amaliyah di dalam keseharian mereka mulai dari tawasulan, tahlilan, membaca kitab maulid secara bersamaan (asroqolan atau marhabanan) yang sungguh itu semua adalah amaliyah yang benar dan telah menjadi ciri khas aqidah yang benar biarpun sebenarnya pembahasan aqidah yang lebih penting bukan di dalam amaliah-amaliyah tersebut.
Kalau kita cermati para ulama terdahulu dalam urusan aqidah dan amaliyah, mereka lebih mementingkan isi daripada kulit. Hingga terkadang seorang muslim awam ahlu sunnah wal jamaah dengan kualitas aqidahnya yang sudah benar akan tetapi dia tidak mampu untuk menjelaskan ahlu sunnah wal jamaah dengan panjang dan lebar dengan pemaparan ilmiyah. Padahal sebetulnya penjabaran makna aqidah ahlu sunnah wal jamaah secara panjang lebar sudah dihadirkan dan disosialikan oleh ulama-ulama terdahulu dengan metode yang sangat sederhana dan kemasyarakatan sehingga sebuah aqidah sudah menyatu dengan kehidupan mereka.
Cara penjabaran dan pemaparan luas dan halus amatlah tepat pada masa disaat fitnah aqidah belum banyak tersebar. Akan tetapi disaat fitnah aqidah merebak dimana-mana dan pergeseran nilai aqidah mudah terjadi. Kita harus bisa mencermati sebab–sebab umat ini termakan fitnah. Kita bisa saksikan disaat munculnya ahli fitnah yang tidak henti-hentinya merendahkan dan mencaci aqidah ahli sunnah wal jamaah. Orang-orang awam pun diam karena tidak tahu kalau mereka sendiri yang dicaci karena mereka tidak mengenal identitas mereka sendiri.
Maka dari itu kami perlu mengenalkan sebuah identitas yang secara hakikatnya memang kurang penting sebab hal itu hanya berurusan dengan kulit dan bukan subtansi aqidah. Akan tetapi sebagai langkah pertama dalam membentengi aqidah dalam kondisi mendesak dan darurat kami anggap mengenal identitas diri saat ini amat diperlukan yaitu disaat merebaknya fitnah dan banyaknya pemalsu-pemalsu aqidah.
Sebab lain yang menjadikan mengenal identitas diri ini penting adalah karena banyaknya orang yang memusuhi aqidah para ulama ahlu sunnah. Yang mereka pun yang menggemborkan syi’ar dan slogan ahlu sunnah wal jamaah dan menamakan diri mereka ahlu sunnah wal jamaah. Jadi pengenalan identitas ini disaat ini sangat penting untuk membedakan ahlu sunnah wal jamaah yang sesungguhnya dengan ahlu sunnah wal jamaah yang palsu. Dan setelah itu kita akan mencoba satu demi satu untuk menjelaskan perbedaan antara ahlu sunnah wal jamaah yang palsu dan yang ahli sunnah yang sesungguhnya dengan kajian ilmiah di dalam pembahasn berikutnya.
Identitas yang kami maksud adalah:
1. Islam
2. Ahlu sunnah wal jamaah
3. Asy’ariyah atau Maturidiyah.
4. Shufiyyah
5. Pengikut salah satu 4 madzhab
Seseorang yang beraqidah yang benar adalah seorang muslim, sunni, asy’ari, shufi dan bermadhab.
Artinya di zaman fitnah ini tidak cukup seorang itu dikatakan aqidahnya benar jika dia hanya menyebut dirinya sebagai seorang muslim saja. Sebab Islam sekarang bermacam-macam dan alangkah banyaknya Islam yang dipalsukan oleh musuh-musuh Allah.
Oleh sebab dalam irama pembuktian kebenaran akidah seorang muslim harus dilanjutkan dengan ikrar bahwa dirinya adalah muslim ahlu sunnah wal jamaah .
Dan dengan jawaban sebagai muslim ahlu sunnah wal jamaah saja ternyata belum cukup karena adanya pemalsu-pemalsu ahlu sunnah wal jamaah yang mereka adalah musuh-musuh ahlu sunnah wal jamaah. Maka dari itu harus dilanjutkan ikrar bahwa dirinya adalah pengikut ahlu sunnah wal jamaah Asy’ariyah.
Dan orang yang mengatakan dirinya sebagai Asy’ariy atau pengikut Imam Abul Hasan Al Asy’ari ternyata belum cukup, sebab ada sekelompok orang yang sepertinya mengagungkan Imam Abul Hasan Al Asy’ari ternyata mereka adalah musuh-musuh Abul Hasan Al Asy’ari. Dan pengikut Imam Abul Hasan yang benar adalah mereka yang berani mengatakan dirinya adakah pengikut para Ahli Tasawuf (shufiyyah) di dalam ilmu mendekatkan diri kepada Allah. Maka seorang Asy’ari yang benar haruslah dia berkeinginan untuk menjadi seorang shufi dan mencintai ahli Tasawuf .
Termasuk fitnah besar akhir-akhir ini dimunculkan adalah tuduhan sesat kepada ahli tasawwuf. Dan memang kita akui ada segelintir orang yang menodai citra tasawwu.Dan itu tergolong orang yang sesat mengaku bertasawwuf. Adapun tasawuf adalah ilmu untuk membersihkan hati dalam irama mencari ridho Alloh.
Maka sangat sesat orang-orang yang memusuhi tasawwuf biarpun dia mengaku ahlusunnah dan biarpun juga mengakui Abul Hasan Al-Asy’ari.
Dan yang terakhir adalah identitas ahlu sunnah wal jamaah di dalam masalah fiqih mereka adalah orang-orang yang mengikuti kepada Imam Madzhab yang empat Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad Bin Hambal. Dalam bahasa fiqh kita sering menyebut dengan istilah bertaqlid kepada salah satu dari imam 4 madhab.
Identitas terakhir ini juga sangat perlu dihadirkan sebab pada zaman akhir ini telah muncul orang yang mengaku ahlu sunnah wal jamaah akan tetapi dengan kesombongannya mereka merendahkan dan membenci taqlid bahkan hingga sampai mencaci maki dan merendahkan para ulama-ulama yang bertaqlid. Maka bertaqlid adalah termasuk ciri aqidah ahlu sunnah wal jamaah yang benar.
Maka orang sesat adalah orang yang mengaku Islam tetapi bukan ahlissunah, membenci asy’ariyah,membenci tasawwuf dan tidak mau bermadhab.Ini adalah cara pintas untuk mengenali orang-orang yang beraqidah benar di tengah-tengah kesesatan ummat.
2. ManhajTalaqqi
Talaqqi adalah pengambilan ilmu dengan memperhatikan kedisiplinan, kesinambungan, keilmuan antara guru dengan murid. Hal yang semacam ini sangat berarti dalam irama menjaga dan mengkaji ahlu sunnah wal jamaah yang benar. Disini bukan berarti seseorang tidak boleh memperluas ilmu dengan cara membaca, akan tetapi disini lebih ditekankan kepada seseorang agar mempunyai dasar-dasar aqidah yang benar yang diambil dari guru yang jelas terlebih dahulu sebelum dia mengembara dengan akal pikirannya ke berbagai disiplin ilmu atau untuk menelaah pemikiran-pemikiran aqidah yang berbeda.
Dan pada dasarnya cara ini sudah mengakar dan membudaya di lingkungan pesantren-pesantren salaf yang diasuh oleh para ulama dengan metode sorogan atau memindah ilmu dengan membaca kitab secara kalimat perkalimat dari awal hingga akhir. Seperti yang sangat kita sering dengar dengan pengenalan kitab-kitab aqidah, seperti Aqidatul awam, Jauharotut tauhid dan yang lainnya yang secara ilmiah terbukti itu adalah penjabaran dari aqidah ahlu sunnah wal jamaah. Maka menjaga mata rantai dan kesinambungan keilmuan seperti ini adalah sangat penting. Dan dalam pengamatan kenyataan di zaman ini kita tidak menemukan kesesatan kecuali disaat seseorang tersebut meninggalkan buku-buku aqidah para pendahulunya dan cara yang di anut oleh pendahulunya dalam mengambil lmu.
Ada 3 hal yang amat penting untuk kita cermati dalam masalah manhaj talaqqi terhadap kerusakan aqidah ahlu sunnah wal jamaah .
1. Dari awal pendidikan agamanya memang tidak dikenalkan dengan aqidah yang benar melalui kitab-kitab yang benar dengan manhaj talaqqi
Dalam hal ini bisa dibuktikan bahwa jika ada pesantren atau ada lembaga pendidikan yang tidak berpegang kepada manhaj talaqi sudah tidak ada lagi maka yang terjadi adalah mudah tercemar oleh aqidah yang sesat.
2. Manhaj talaqqi masih di berlakukan akan tetapi itu hanya sekedar pembacaan rutin tanpa ditindaklanjuti kajian yang lebih dalam.
Hal ini akan menjadikan seseorang akan mudah tercemar oleh aqidah-aqidah yang sesat karena disatu sisi mereka kurang mendalami aqidah yang mereka tekuni. Disisi lain virus kesesatan bertebaran melalui media-media yang saat ini menjadi lebih dekat kepada masyarakat seperti televisi, radio dan buletin-buletin yangsemua itu lebih mudah dibaca dengan bahasa lokal yang mudah di fahami seiring berkembangnya dunia tehnologi.Sementara penyeru kesesatanpu sangat gigih dalam menyebarkan kesesatan.
3. Semangat ingin tahu kepada agama yang tinggi yang tidak dibarengi dengan bimbingan seorang guru dan hanya hanya mengandalkan kemampuannya dalam membaca buku-buku yang ditemukannya di toko-toko buku atau yang dibaca melalui internet.
Hal yang semacam inilah yang kami cermati telah benar-benar menjadikan aqidah kita semakin hari semakin keropos.
Kita bisa saksikan dengan para perusak aqidah telah dengan gigihnya membuat radio-radio,mencetak buku-buku murah dan gratis serta selebaran yang dibagi secara cuma-Cuma Sebagai contoh, di kebanyakan kota kabupaten penyebar aqidah sesat itu berusaha untuk mempunyai radio karena mereka yakin dengan adanya radio mereka bisa mempengaruhi masyarakat luas yang sebenarnya dihati mereka ada kerinduan untuk mendalami ilmu agama. Dengan membuat stasiun radio ternyata tanpa kita sadari telah berpengaruh besar terhadap kesesatan.
Justru kita sebagai pembawa aqidah yang benar kita kurang berfikir maju untuk menguasai media informasi demi membendung arus penyesatan aqidah. Hubungannya dengan manhaj talaqqi yang kami sebut adalah kita jangan memulai belajar aqidah kecuali dengan manhaj talaqqi. Dan kita harus berusaha agar media-media yang ada dan juga toko-toko buku bisa dipenuhi oleh orang-orang yang mempunyai aqidah yang benar dan menekuni manhaj talaqqi.Dan jangan membaca buku aqidah kecuali atas petunjuk guru yang mempunyai manhaj talaqqi.
Wallohu a’lam bishshowab.
Buya Yahya/Dr. KH. Zainul Ma'arif
HafizhahullahTa'alaa
Pengasuh Lembaga Pengembangan Dakwah Al-BahjahCirebon

Share:

Tahlil Fida' di fatwakan banyak ulama'

Di masa abad pertengahan Islam, kurang lebih antara tahun 400-1000 Hijriyah, amaliah Tahlil bagi umat Islam untuk keluarganya yang meninggal adalah tidak tanggung-tanggung, yaitu bacaan dzikir La ilaha illa Allah sebanyak 70.000 kali.

Saat ini memang sudah tidak sebanyak itu, atau jarang ditemukan. Namun setidaknya amaliah Tahlil sudah berlangsung ratusan tahun silam, dan banyak sekali ulama yang mengamalkan atau paling tidak mereka tidak menyalahkan amaliah ini.

Akan tetapi, bagi yang Anti Tahlil (jumlahnya sedikit), mereka beramsumsi bahwa amaliah semacam ini berasal dari mimpi:

وَيَحْتَجُّونَ عَلَى فِعْلِ ذَلِكَ بِمَا حُكِيَ عَنْ بَعْضِ الشُّيُوخِ مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ أَنَّهُ رَأَى فِي مَنَامِهِ بَعْضَ الْمَوْتَى فِي عَذَابٍ فَذَكَرَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ سَبْعِينَ أَلْفَ مَرَّةٍ ثُمَّ أَهْدَاهَا لَهُ ، فَرَآهُ فِي مَنَامِهِ بَعْدَ ذَلِكَ فِي هَيْئَةٍ حَسَنَةٍ ، فَسَأَلَهُ عَنْ ذَلِكَ ، فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ غُفِرَ لَهُ بِإِهْدَائِهِ لَهُ ثَوَابَ السَّبْعِينَ أَلْفًا . وَهَذَا لَيْسَ فِيهِ دَلِيلٌ مِنْ وَجْهَيْنِ : أَحَدُهُمَا : أَنَّهُ مَنَامٌ ، وَالْمَنَامُ لَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ حُكْمٌ . وَالثَّانِي : أَنَّهُ إنَّمَا فَعَلَهَا وَحْدَهُ فِي خَاصَّةِ نَفْسِهِ ، وَأَهْدَى لَهُ ثَوَابَهَا وَلَمْ يَجْمَعْ لِذَلِكَ النَّاسَ كَمَا يَفْعَلُونَ فِي هَذَا الزَّمَانِ مِنْ الشُّهْرَةِ حَتَّى صَارَ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ أَمْرًا مَعْمُولًا بِهِ ، أَمَّا لَوْ فَعَلَ ذَلِكَ أَحَدٌ فِي خَاصَّةِ نَفْسِهِ وَأَهْدَى ثَوَابَهُ لِمَنْ شَاءَ فَلَا يُمْنَعُ ؛ لِأَنَّهُ قَدْ فَعَلَ خَيْرًا وَكَذَلِكَ يَحْذَرُ مِمَّا أَحْدَثَهُ بَعْضُهُمْ مِنْ تَرْكِ الْفُرُشِ الَّتِي تُجْعَلُ فِي بَيْتِ الْمَيِّتِ لِجُلُوسِ مَنْ يَأْتِي إلَى التَّعْزِيَةِ فَيَتْرُكُونَهَا كَذَلِكَ حَتَّى تَمْضِيَ سَبْعَةُ أَيَّامٍ ، ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يُزِيلُونَهَا .
 (المدخل الى مذهب أحمد لابن بدران - ج 3 / ص 446)

“Mereka berhujjah untuk melakukan Tahlil 70.000 dari sebagian guru generasi akhir, bahwa ia bermimpi melihat sebagian orang mati tengah disiksa, kemudian ia berdzikir La ilaha illa Allahu 70.000 kali lalu dihadiahkan kepadanya.

Berikutnya ia bermimpi bertemu kembali dalam keadaan yang baik. Ia bertanya tentang kondisi itu, si mayit menjawab bahwa telah diampuni dosanya dengan hadiah pahala kepadanya sebanyak 70.000 kali.

Hal ini bukanlah hukum karena dua faktor.

Pertama, ini adalah mimpi, dan mimpi tidak berimplikasi pada hukum.

Kedua, ini hanya perbuatan perorangan yang menghadiahkan pahalanya, bukan dalam bentuk mengumpulkan orang banyak, seperti yang dilakukan saat ini dan populer, hingga menjadi sebuah amaliah bagi mereka.

Adapun jika ia melakukannya sendiri dan menghadiahkan kepada orang lain yang ia sukai, maka tidak ada halangan, sebab ia telah melakukan kebaikan” (al-Madkhal ila Madzhabi Ahmad, 3/446)

Kendati mimpi bukan sebuah hukum, setidaknya Islam melegalkan mimpi sebagai ‘al-Busyra’ atau kabar gembira bagi para kekasih Allah. Berikut adalah ayatnya:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63) لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ [يونس/62-64]
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.

Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat.

Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (Yunus: 62-64)

Apa yang dimaksud “al-Busyra” atau kabar gembira dalam ayat diatas? Tidak lain adalah “Mimpi yang baik” sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ قَوْلِهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى (لَهُمُ الْبُشْرَى فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِى الآخِرَةِ) قَالَ هِىَ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ يَرَاهَا الْمُسْلِمُ أَوْ تُرَى لَه (رواه احمد . تعليق شعيب الأرنؤوط : صحيح لغيره وهذا إسناد رجاله ثقات رجال الشيخين)

“Dari Ubadah bin Shamit, ia berkata: Saya bertanya kepada Nabi Saw tentang firman Allah: “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat”.

Nabi menjawab: “Itu adalah mimpi yang baik, yang dilihat oleh orang Islam atau diperlihatkan kepadanya” (HR Ahmad, para perawinya adalah perawi Bukhari dan Muslim)

Bahkan para ulama yang lain tetap sependapat dengan Tahlilan seperti diatas, diantaranya:

- Fatwa Ibnu Taimiyah:

وَسُئِلَ عَمَّنْ هَلَّلَ سَبْعِينَ أَلْفَ مَرَّةٍ وَأَهْدَاهُ لِلْمَيِّتِ يَكُونُ بَرَاءَةً لِلْمَيِّتِ مِنْ النَّارِ حَدِيثٌ صَحِيحٌ ؟ أَمْ لَا ؟ وَإِذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ وَأَهْدَاهُ إلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إلَيْهِ ثَوَابُهُ أَمْ لَا ؟ الْجَوَابُ فَأَجَابَ : إذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ هَكَذَا : سَبْعُونَ أَلْفًا أَوْ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ . وَأُهْدِيَتْ إلَيْهِ نَفَعَهُ اللَّهُ بِذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا حَدِيثًا صَحِيحًا وَلَا ضَعِيفًا . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ . (مجموع فتاوى ابن تيمية – ج 5 / ص 471)

“Ibnu Taimiyah ditanya tentang orang yang Tahlil 70.000 kali dan menghadiahkan kepada mayit untuk membebaskannya dari neraka.

Apakah ini hadis sahih? Dan jika seseorang membaca Tahlil dan menghadiahkan kepada mayit apakah pahalanya sampai atau tidak?

Ibnu Taimiyah menjawab: Jika seseorang membaca Tahlil 70.000 kali, kurang atau lebih dan dihadiahkan kepada mayit, maka Allah akan memberi manfaat kepadanya dengan Tahlil tersebut.

Ini bukan hadis sahih dan dlaif” (Majmu’ al-Fatawa 5/471)

- Amaliah Abu Zaid al-Qurthubi

وَقَالَ أَبُوْ الْعَبَّاسِ أَحْمَدُ الْقَسْطَلَانِي سَمِعْتُ الشَّيْخَ أَبَا عَبْدِ اللهِ الْقُرَشِي يَقُوْلُ سَمِعْتُ أَبَا زَيْدٍ الْقُرْطُبِي يَقُوْلُ فِي بَعْضِ الْآثَارِ أَنَّ مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ سَبْعِيْنَ أَلْفَ مَرَّةٍ كَانَتْ فِدَاءَهُ مِنَ النَّارِ، فَعَمِلْتُ ذَلِكَ رَجَاءَ بَرَكَةِ الْوَعْدِ، فَفَعَلْتُ مِنْهَا لِأَهْلِي وَعَمِلْتُ أَعْمَالًا أِدَّخَرْتُهَا لِنَفْسِي (المستطرف في كل فن مستظرف - ج 1 / ص 483 شهاب الدين محمد بن أحمد أبي الفتح الأبشيهي دار الكتب العلمية - بيروت)

“Abu al-Abbas Ahmad al-Qasthalani berkata: Saya mendengar Syaikh Abu Abdillah al-Qurasyi berkata:

Saya mendengar Abu Zaid al-Qurthubi (473 H) berkata dalam sebagian atsar, bahwa orang yang mengucapkan La ilaha illa Allah 70.000 kali, akan menjadi penebus baginya dari nereka.

Saya mengamalkannya mengharap berkah janji. Kemudian saya mengamalkan sebagiannya untuk keluarga saya, dan saya mengamalkan beberapan amalan yang saya investasikan untuk saya sendiri” (Syihabuddin al-Absyihi dalam al-Mustathrif, 1/483)

- Wasiat Ibnu al-‘Arabi:

قال ابْنُ الْعَرَبِيِّ أُوصِيك بِالْمُحَافَظَةِ عَلَى شِرَاءِ نَفْسِك مِنْ اللَّهِ تَعَالَى بِأَنْ تَقُولَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ سَبْعِينَ أَلْفًا ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَعْتِقُك وَيَعْتِقُ مَنْ تَقُولُهَا عَنْهُ مِنْ النَّارِ وَرَدَ بِهِ خَبَرٌ نَبَوِيٌّ . (فيض القدير للمناوي – ج 6 / ص 245 ومنح الجليل شرح مختصر خليل لخليل بن اسحاق – ج 16 / ص 172)

“Ibnu al-Arabi berkata: Saya berwasiat kepadamu untuk terus ‘membeli dirimu’ dari Allah (dibebaskan dari siksa) dengan mengucapkan La ilaha illa Allahu, 70.000 kali.

Maka Allah akan membebaskanmu dan orang yang kau bacakan kalimat tersebut dari neraka.

Sebagaimana disampaikan dalam sebuah hadis” (Faidl al-Qadir 6/245 dan Minah al-Jalil, 16/172)

- Fatwa al-Qarafi al-Maliki:

قَالَ الرَّهُونِيُّ وَالتَّهْلِيلُ الَّذِي قَالَ فِيهِ الْقَرَافِيُّ يَنْبَغِي أَنْ يُعْمَلَ هُوَ فِدْيَةُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ سَبْعِينَ أَلْفِ مَرَّةٍ حَسْبَمَا ذَكَرَهُ السَّنُوسِيُّ وَغَيْرُهُ هَذَا الَّذِي فَهِمَهُ مِنْهُ الْأَئِمَّةُ (أنوار البروق في أنواع الفروق - ج 6 / ص 105)

“ar-Rahuni berkata: Tahlil yang dikatakan oleh al-Qarafi yang dianjurkan untuk diamalkan adalah doa fidyah La ilaha illa Allahu, sebanyak 70.000 kali.

Terlebih disebutkan oleh as-Sanusi dan lainnya. Inilah yang difahami oleh para imam” (Anwar al-Buruq 6/105)

- Fatwa asy-Syarwani asy-Syafii:

( قَوْلُهُ لِمَحْضِ الذِّكْرِ ) أَيْ كَالتَّهْلِيلِ سَبْعِينَ أَلْفَ مَرَّةٍ الْمَشْهُورُ بِالْعَتَاقَةِ الصُّغْرَى (حواشي الشرواني على تحفة المحتاج في شرح المنهاج للشرواني – ج 24 / ص 429)

“(Boleh mengupah orang untuk membaca al-Quran dan membaca dzikir murni) Yakni seperti Tahlil 70.000 kali yang populer dengan ‘pembebasan kecil’.”

(Hasyiah ala Tuhfat al-Muhtaj, 24/429)


Oleh : Ustadz Muhammad Ma'ruf Khozin


Editor: DBCLVIIII 

Share:

Dauroh in Jipangulu Ngelo

Jipangulu,11/05/2014.
Alhamdulillah pelaksanaan dauroh ke II di Jipangulu ds. Ngelo yang di hadiri hampir seluruh Pengurus Aswaja NU Center Kec. Margomulyo berlangsung dengan hikmat,
'Bpk. Moh. Miran Qr SAg. Selaku Ketua MWC NU Kec. Margomulyo berpesan semoga dauroh ini bisa benar benar menjadi sarana untuk membumikan aswaja nu di bumi Margomulyo, serta dapat menjadikan aswaja nu sebagai pelopor Islam yang benar- benar Rohmatan Lil Alamin'.
Acara berlangsung dari jam 09.15 sampai jam 14.15, adapun Pemateri dalam acara tersebut adalah Ust. M. Syaifuddin, SPdI Direktur Aswaja NU Center Margomulyo yang menyampaikan materi Firqoh Firqoh dalam islam, Materi kedua Al-Bid'atu wa aqsamuha di sampaikan oleh Kang Badrun Al-fangili Pegiat Pesbuker KPDD.
Dalam dauroh kali ini peserta terlihat mulai terangsang rasa keingintahuannya,  hal ini di tandai adanya beberapa pertanyaan yang di sampaikan terkait beberapa hal yang sifat nya waqi'iyah di daerah masing masing. Setelah selesai para pesertapun pulang kerumah masing masing dengan menyusur i jalan hutan yang terjal. Sampai ketemu di dauroh berikutnya di desa kalangan pada bulan agustus mendatang.
Share: