Dalil Komposisi atau Campuran Bacaan Tahlilan

Thursday, 9 October 2014
Muslimedianews MMN at 23:26

Muslimedianews.com ~ Dalil Komposisi Bacaan Tahlilan
WAHABI: “Apa dalil yang Anda gunakan dalam Tahlilan, sehingga komposisi bacaannya beragam atau campuran, ada dzikir, ayat-ayat al-Qur’an, sholawat dan lain-lain?”

SUNNI: “Mengapa Anda menanyakan dalil? Apa pentingnya dalil bagi Anda,sedang Anda tidak mau Tahlilan?”

WAHABI: “Kalau Tahlilan tidak ada dalilnya berarti bid’ah donk. Jangan Anda lakukan!”

SUNNI: “Sekarang saya balik tanya, adakah dalil yang melarang bacaan campuran seperti Tahlilan?”

WAHABI: “Ya tidak ada.”

SUNNI: “Kalau tidak ada dalil yang melarang, berarti pendapat Anda yang membid’ahkan Tahlilan jelas bid’ah. Melarang amal shaleh yang tidak dilarang dalam agama.

Kalau Anda tidak setuju dengan komposisi bacaan dalam Tahlilan, sekarang saya tanya kepada Anda, bacaan dalam sholat itu satu macam atau campuran?”

WAHABI: “Ya, campuran dan lengkap.”

SUNNI: “Berarti bacaan campuran itu ada contohnya dalam agama, yaitu sholat. Kalau begitu mengapa Anda masih tidak mau Tahlilan?”

WAHABI: “Kalau sholat kan memang ada tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalau campuran dalam Tahlilan kan tidak ada tuntunan?”

SUNNI: “Itu artinya, agama tidak menafikan dan tidak melarang dzikir dengan komposisi campuran seperti Tahlilan, dan dicontohkan dengan sholat.

Sedangkan pernyataan Anda, bahwa dzikir campuran di luar sholat seperti Tahlilan, tidak ada dalilnya, itu karena Anda baru belajar ilmu agama. Coba perhatikan hadits ini:

ﻋَﻦْ ﺃَﻧَﺲٍ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗَﺎﻝَ : ﺇِﻥَّ ﻟﻠﻪِ ﺳَﻴَّﺎﺭَﺓً ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﻼَﺋِﻜَﺔِ
ﻳَﻄْﻠُﺒُﻮْﻥَ ﺣِﻠَﻖَ ﺍﻟﺬِّﻛْﺮِ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺃَﺗَﻮْﺍ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻭَﺣَﻔُّﻮْﺍ ﺑِﻬِﻢْ ﺛُﻢَّ ﺑَﻌَﺜُﻮْﺍ ﺭَﺍﺋِﺪَﻫُﻢْ ﺇِﻟﻰَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺏِّ ﺍﻟْﻌِﺰَّﺓِ
ﺗَﺒَﺎﺭَﻙَ ﻭَﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻓَﻴَﻘُﻮْﻟُﻮْﻥَ : ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺃَﺗَﻴْﻨَﺎ ﻋَﻠﻰَ ﻋِﺒَﺎﺩٍ ﻣِﻦْ ﻋِﺒَﺎﺩِﻙَ ﻳُﻌَﻈِّﻤُﻮْﻥَ ﺁَﻻَﺀَﻙَ ﻭَﻳَﺘْﻠُﻮْﻥَ ﻛِﺘَﺎﺑَﻚَ
ﻭَﻳُﺼَﻠُّﻮْﻥَ ﻋَﻠﻰَ ﻧَﺒِﻴِّﻚَ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭَﻳَﺴْﺄَﻟُﻮْﻧَﻚَ ﻵَﺧِﺮَﺗِﻬِﻢْ ﻭَﺩُﻧْﻴَﺎﻫُﻢْ ﻓَﻴَﻘُﻮْﻝُ ﺗَﺒَﺎﺭَﻙَ
ﻭَﺗَﻌَﺎﻟَﻰ : ﻏَﺸُّﻮْﻫُﻢْ ﺭَﺣْﻤَﺘِﻲْ ﻓَﻴَﻘُﻮْﻟُﻮْﻥَ : ﻳَﺎ ﺭَﺏِّ ﺇِﻥَّ ﻓِﻴْﻬِﻢْ ﻓُﻼَﻧﺎً ﺍﻟْﺨَﻄَّﺎﺀَ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻋْﺘَﻨَﻘَﻬُﻢْ ﺍِﻋْﺘِﻨَﺎﻗًﺎ
ﻓَﻴَﻘُﻮْﻝُ ﺗَﺒَﺎﺭَﻙَ ﻭَﺗَﻌَﺎﻟَﻰ : ﻏَﺸُّﻮْﻫُﻢْ ﺭَﺣْﻤَﺘِﻲْ ﻓَﻬُﻢُ ﺍﻟْﺠُﻠَﺴَﺎﺀُ ﻻَ ﻳَﺸْﻘَﻰ ﺑِﻬِﻢْ ﺟَﻠِﻴْﺴُﻬُﻢْ . ‏( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺰﺍﺭ
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﻟﻬﻴﺜﻤﻲ ﻓﻲ ﻣﺠﻤﻊ ﺍﻟﺰﻭﺍﺋﺪ : ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﺣﺴﻦ، ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ ﺃﻭ ﺣﺴﻦ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ
ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ، ﻛﻤﺎ ﺫﻛﺮﻩ ﻓﻲ ﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ 11/212 )

“Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat yang selalu mengadakan perjalanan mencari majelis-majelis dzikir. Apabila para malaikat itu mendatangi orang-orang yang sedang berdzikir dan mengelilingi mereka, maka mereka mengutus pemimpin mereka ke langit menuju Tuhan Maha Agung – Yang Maha Suci dan Maha Luhur.

Para malaikat itu berkata: “Wahai Tuhan kami, kami telah mendatangi hamba-hamba-Mu yang mengagungkan nikmat-nikmat-Mu, menbaca kitab-Mu, bershalawat kepada nabi-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan memohon kepada-Mu akhirat dan dunia mereka”.

Lalu Allah menjawab: “Naungi mereka dengan rahmat-Ku”.

Lalu para malaikat itu berkata: “Di antara mereka terdapat sifulan yang banyak dosanya, ia hanya kebetulan lewat lalu mendatangi mereka”.

Lalu Allah – Yang Maha Suci dan Maha Luhur - menjawab: “Naungi mereka dengan rahmat-Ku, mereka adalah kaum yang tidak akan sengsara orang yang ikut duduk bersama mereka”.

(HR. al-Bazzar. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid [16769, juz 10, hal. 77]:
“Sanad hadits ini hasan.” Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar, hadits ini shahih atau hasan).

Hadits di atas menjadi dalil keutamaan dzikir berjamaah, dan isi bacaannya juga campuran, ada dzikir, ayat-ayat al-Qur’an dan sholawat”.

WAHABI: “Owh, iya ya”.

SUNNI: “Makanya, jangan suka usil. Belajar dulu yang rajin kepada para Kiai dan ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Jangan belajar kepada kaum Wahabi yang sedikit-sedikit bilang bid’ah dan syirik”.

WAHABI: “Terima kasih”.

SUNNI: “Menurut Anda, Syaikh Ibnu Taimiyah itu bagaimana” ?

WAHABI: “Beliau Syaikhul-Islam di kalangan kami yang Anda sebut Wahabi. Pendapat beliau pasti kami ikuti”.

SUNNI: “Syaikh Ibnu Taimiyah justru menganjurkan Tahlilan dalam fatwanya. Beliau berkata:

ﻭَﺳُﺌِﻞَ: ﻋَﻦْ ﺭَﺟُﻞٍ ﻳُﻨْﻜِﺮُ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟﺬِّﻛْﺮِ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﻟَﻬُﻢْ : ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟﺬِّﻛْﺮُ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﺟَﻬْﺮُﻛُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺬِّﻛْﺮِ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ
ﻭَﻫُﻢْ ﻳَﻔْﺘَﺘِﺤُﻮﻥَ ﺑِﺎﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻭَﻳَﺨْﺘَﺘِﻤُﻮﻥَ ﺛُﻢَّ ﻳَﺪْﻋُﻮﻥَ ﻟِﻠْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴﻦَ ﺍﻟْﺄَﺣْﻴَﺎﺀِ ﻭَﺍﻟْﺄَﻣْﻮَﺍﺕِ ﻭَﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ ﺍﻟﺘَّﺴْﺒِﻴﺢَ
ﻭَﺍﻟﺘَّﺤْﻤِﻴﺪَ ﻭَﺍﻟﺘَّﻬْﻠِﻴﻞَ ﻭَﺍﻟﺘَّﻜْﺒِﻴﺮَ ﻭَﺍﻟْﺤَﻮْﻗَﻠَﺔَ ﻭَﻳُﺼَﻠُّﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ؟" ﻓَﺄَﺟَﺎﺏَ :
ﺍﻟِﺎﺟْﺘِﻤَﺎﻉُ ﻟِﺬِﻛْﺮِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﺳْﺘِﻤَﺎﻉِ ﻛِﺘَﺎﺑِﻪِ ﻭَﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀِ ﻋَﻤَﻞٌ ﺻَﺎﻟِﺢٌ ﻭَﻫُﻮَ ﻣِﻦْ ﺃَﻓْﻀَﻞِ ﺍﻟْﻘُﺮُﺑَﺎﺕِ ﻭَﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩَﺍﺕِ
ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﻭْﻗَﺎﺕِ ﻓَﻔِﻲ ﺍﻟﺼَّﺤِﻴﺢِ ﻋَﻦْ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃَﻧَّﻪُ ﻗَﺎﻝَ : ‏( ﺇﻥَّ ﻟﻠﻪِ ﻣَﻠَﺎﺋِﻜَﺔً
ﺳَﻴَّﺎﺣِﻴﻦَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻣَﺮُّﻭﺍ ﺑِﻘَﻮْﻡِ ﻳَﺬْﻛُﺮُﻭﻥَ ﺍﻟﻠﻪَ ﺗَﻨَﺎﺩَﻭْﺍ ﻫَﻠُﻤُّﻮﺍ ﺇﻟَﻰ ﺣَﺎﺟَﺘِﻜُﻢْ ‏) ﻭَﺫَﻛَﺮَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚَ
ﻭَﻓِﻴﻪِ ‏( ﻭَﺟَﺪْﻧَﺎﻫُﻢْ ﻳُﺴَﺒِّﺤُﻮﻧَﻚ ﻭَﻳَﺤْﻤَﺪُﻭﻧَﻚ ‏) ... ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﻣُﺤَﺎﻓَﻈَﺔُ ﺍﻟْﺈِﻧْﺴَﺎﻥِ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻭْﺭَﺍﺩٍ ﻟَﻪُ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ
ﺃَﻭْ ﺍﻟْﻘِﺮَﺍﺀَﺓِ ﺃَﻭْ ﺍﻟﺬِّﻛْﺮِ ﺃَﻭْ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀِ ﻃَﺮَﻓَﻲْ ﺍﻟﻨَّﻬَﺎﺭِ ﻭَﺯُﻟَﻔًﺎ ﻣِﻦْ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻭَﻏَﻴْﺮُ ﺫَﻟِﻚَ : ﻓَﻬَﺬَﺍ ﺳُﻨَّﺔُ ﺭَﺳُﻮﻝِ
ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭَﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤِﻴﻦَ ﻣِﻦْ ﻋِﺒَﺎﺩِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻗَﺪِﻳﻤًﺎ ﻭَﺣَﺪِﻳﺜًﺎ . ‏(ﻣﺠﻤﻮﻉ ﻓﺘﺎﻭﻯ ﺍﺑﻦ
ﺗﻴﻤﻴﺔ، ٢٢ /٥٢٠ ).

“Ibnu Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian ini bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah”.

Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.

Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illaa billaah) dan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.?

”Lalu Ibn Taimiyah menjawab: “Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan al-Qur’an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu.

Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki banyak Malaikat yang selalu bepergian di muka bumi.

Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil, “Silahkan sampaikan hajat kalian”, lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, “Kami menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepada-Mu”.

Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan hamba-hamba Allah yang saleh, zaman dulu dan sekarang” .
(Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 22, hal. 520).

Pernyataan Syaikh Ibnu Taimiyah di atas memberikan kesimpulan bahwa dzikir berjamaah dengan komposisi bacaan yang beragam antara ayat al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, shalawat dan lain-lain seperti yang terdapat dalam tradisi tahlilan adalah amal shaleh dan termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu.

WAHABI: “Lho, ternyata beliau juga menganjurkan Tahlilan ya. Owh terima kasih kalau begitu. Sejak saat ini, saya akan ikut jamaah Yasinan dan Tahlilan.

Ternyata ajaran Wahabi tidak punya dalil, kecuali hawa nafsu yang selalu mereka ikuti.”


Oleh : Ustadz Muhammad Idrus Ramli

Editor: DBC_KPNULVIII

Share:

Mengenal Hukum Aqly, Syar'i dan 'Ady

Muslimedianews.com ~  "Allah Tidak Kekal",

Pernyataan ini tentu saja tidak bisa diterima oleh akal sehat seorang mukmin, di istilahkan dengan "Mustahil Aqly".

Inilah sebagian contoh penerapan hukum aqal. Adapun yang benar adalah "Allah Kekal (Baqa')", wajib bagi aqal kita mengimaninya.

Dengan mempelajari kaidah-kaidah semacam ini, maka akan mudah bagi umat Islam dalam mempelajari tauhid secara benar.

Selain ada hukum Aqly, juga ada hukum Syar'i dan Hukum 'Ady (Adat/kebiasaan/Sunnatullah).

Berikut penjelasannya:
A. Hukum 'Aqly sendiri ada tiga, yaitu:

1. Wajib, artinya perkara yang tidak boleh tidak akan adanya bagi ‘aqal fikiran.

2. Mustahil, artinya perkara yang tidak boleh tidak akan tiadanya bagi ‘aqal.

3. Jaiz, artinya perkara yang adanya dan tiadanya dapat diterima ‘aqal.

B. Hukum Syar’i
Ada hukum aqal, ada pula hukum syar’i. Hukum syar'i adalah perintah Allah Ta’ala atas perbuatan mukallaf (yang diberi tanggung jawab), maka disebut perintah yang memberatkan (taklif) disebut juga sebagai perintah yang jelas, sebab ditentukan syaratnya atau sebabnya.

Hukum syar’i ini ada tujuh, yaitu:

1. Wajib, artinya perkara yang jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat dosa.

2. Sunnah, artinya perkara yang jika dikerjakan mendapat pahala.

3. Haram, artinya perkara yang jika dikerjakan mendapat dosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala.

4. Makruh, artinya perkara yang jika dikerjakan tidak mendapat dosa, tetapi perbuatan tersebut tidak disukai Allah dan jika ditinggalkan mendapat pahala.

5. Mubah, artinya “harus syar’i”, yaitu perkara yang jika dikerjakan ataupun ditinggalkan tiada mendapat dosa atau pahala.

6. Shahih (sah), artinya perkara yang lengkap segala syaratnya dan segala rukunnya.
7. Bathal, artinya perkara yang kurang syaratnya atau rukunnya.

C. Hukum ‘Ady (Adat/Kebiasaan)
Hukum ‘ady artinya menetapkan suatu perkara bagi suatu hal, atau menetapkan suatu perkara pada suatu hal dengan alasan perkara tersebut berulang-ulang.

1. Penetapan keadaan suatu perkara dengan keadaan perkara lainnya. Misalnya keadaan kenyang dengan keadaan makan.

2. Penetapan ketiadaan suatu perkara dengan ketiadaan perkara lainnya. Misalnya ketiadaan kenyang dengan ketiadaan makan.

3. Penetapan keadaan suatu perkara dengan ketiadaan perkara lain. Misalnya keadaan dingin dengan ketiadaan selimut.

4. Pentapan ketiadaan suatu perkara dengan keadaan suatu perkara lain. Misalnya ketiadaan hangus dengan adanya siraman air.

Sekarang kita telah mengetahui perbedaan wajib syar'i dengan wajib 'aqly.

Jika disebutkan wajib atas tiap orang mukallaf maka maksudnya adalah wajib syar’i.

Jika disebutkan wajib bagi Allah Ta’ala atau bagi Rasulullah, maka maksudnya adalah wajib ‘aqly.

Jika dikatakan jaiz bagi mukallaf, maka maksudnya jaiz syar’i. Jika dikatakan jaiz bagi Allah Ta’ala, maka maksudnya adalah jaiz ‘aqly.

Yang wajib pada Allah ‘Azza wa Jalla dengan tafshil disebut sifat 20, yang telah berdiri dalil ‘aqly dan naqly atasnya.

Wajib atas tiap mukallaf mengetahui dengan ijmaly saja didalam perkataan (bersifat Allah Ta’ala dengan setiap sifat  kesempurnaan.

Adapun yang mustahil pada Allah ‘Azza wa Jalla dengan tafshil ada 20 perkara, yaitu lawan dari 20 sifat yang wajib bagi Allah ‘Azza wa Jalla.

Yang mustahil pada Allah ‘Azza wa Jalla dengan ijmaly yaitu yang ada di dalam perkataan “Maha Suci Allah dari dari setiap sifat kekurangan dan dari perkara yang terbayang (terbersit) di hati.”

Red: IbnuManshur
Dikutip dari: "Shifat Dua Pulu" karya Habib 'Utsman bin 'Abdullah bin 'Aqil bin Yahya, diterbitkan oleh Maktabah Al-Madaniyah Indonesia (file bentuk Ebook)

Editor: DBC_KPNULVIII

Share:

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dan Bid’ah Lughowiyyah

AL-IMAM IBNU HAJAR AL-HAITAMI DAN BID’AH LUGHAWIYYAH
BEDAH DIALOG BATAM


Dalam sebuah dialog santai di sebuah acara tahlilan di Indonesia bagian Barat, antara Ustadz Nashirul Islam dari pihak Ahlussunnah Wal-Jama’ah (kami singkat A) dan Ustadz Huwaini dari pihak Wahabi (kami singkat W). diganggu dengan teman lama mereka yang kini datang berkunjung untuk silaturrahmi.

Tapi teman lama tersebut telah berubah, karena menjadi salah satu pengikut Syiah Rofidhoh. Ia bernama Ustadz Jusi (kami singkat S). Terjadilah dialog sebagai berikut.

W: “Akhi, kemarin antum berjanji akan berbicara soal bid’ah lughawiyyah.
Bagaimana kalau diskusi kemarin kita hentikan dulu akhi. Sekarang kita berdiskusi tentang aliran Syiah yang diikuti oleh teman lama kita Ustadz Jusi ini.?”

A: “Apanya yang perlu kita diskusikan soal aliran Syiah. Ana dan antum kan sudah sepakat bahwa Syiah itu memang aliran menyimpang?”

S: “Begini akhi, antum berdua kan bersemangat memerangi Syiah. Sebenarnya apa sih ruginya bangsa Indonesia kalau menerima Syiah sebagai salah satu aliran yang berkembang dan hidup berdampingan dengan rukun dan damai?”

A: “Afwan akhi, ana agak kurang fit kalau sekarang diskusi soal Syiah. Kita diskusi besok aja soal Syiah. Sekarang kita melanjutkan diskusi kemarin soal bid’ah lughawiyyah Imam Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah. Bagaimana antum setuju semua?”

W: “Ya tidak apa-apa akhi. Tapi maaf, antum jangan berkata bahwa kaum Wahabi seperti dalam dialog di Batam telah melakukan kecurangan. Katakan saja, salah faham lah. Agar bahasanya lebih halus sedikit. Bagaimana, setuju akhi?”

A: “Thoyyib akhi. Memang kemungkinan dari pihak Wahabi dalam dialog Batam salah faham dalam membaca kitab-kitab fiqih Syafi’iyah. Karena mereka hanya terbiasa membaca kitab-kitab Wahabi begitu. Terus apanya yang akan kita diskusikan akhi?”

W: “Begini akhi, dalam dialog Batam, pihak Ahlussunnah tidak mau menerima istilah bid’ah lughawiyyah, padahal itu telah diakui oleh al-Imam al-Muhaqqiq Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-Fatawa al-Haditsiyyah.”

Mendengar ucapan W tersebut, S atau Ustadz Jusi yang menganut Syiah justru tersenyum simpul. Sepertinya ia faham, bahwa W kurang teliti dalam membaca kitab-kitab klasik.

A: “Begini akhi. Menurut hemat ana, pihak Ahlussunnah dalam dialog Batam, tidak menerima istilah bid’ah lughawiyyah, karena mereka penganut madzhab Syafi’i.

Imam al-Syafi’i sudah tegas membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah.

Dan itu bukan dalam konteks lughawiyah atau bahasa. Hujjah Syafi’iyyah dalam masalah ini sangat kuat akhi. Antum sulit untuk membantahnya.

Coba antum pikir, kalau perkataan Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu “ni’matil-bid’ah hadzihi (sebaik-baik bid’ah adalah shalat taraweh ini)”, antum artikan dengan bid’ah secara bahasa, lalu bagaimana kalau pihak Ahlussunnah bertanya.

“Penafsiran perkataan Khalifah Umar dengan bid’ah secara bahasa, itu apakah dari Khalifah Umar sendiri, atau dari Antum?”

Kalau Antum menjawab, dari pihak Umar sendiri, antum pasti berbohong, karena tidak ada dalam riwayat-riwayat kitab hadits manapun.

Kalau Antum menjawab, dari ulama antum, bukan dari Khalifah Umar, maka pihak Ahlussunnah akan menggugat lagi.

Bahwa Khalifah Umar mengeluarkan perkataan tersebut bukan dalam kapasitas sebagai dosen bahasa arab, akan tetapi dalam kapasitas sebagai Khulafaur Rasyidin yang syar’iy, yang kebijakannya menjadi sunnah yang harus diikuti.

Nah, dengan gugatan seperti ini, pihak Wahabi tidak akan bias menjawab akhi.”

W: “Tapi akhi, al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami, mengakui bid’ah lughawiyyah dalam kitabnya al-Fatawa al-Haditsiyyah. Bagaimana tanggapan antum akhi?”

A: “Justru ini letak kesalahan pihak Wahabi. Pertama, mereka tidak mengerti maksud istilah bid’ah lughawiyyah yang dikatakan oleh penganut madzhab ini, yaitu madzhab Hanbali. Kedua, mereka tidak mengerti istilah para ulama dalam menulis kitab syar’iy.”

W: “Maaf akhi, tolong antum jelaskan lebih rinci tentang bid’ah lughawiyyah nya Ibnu Hajar al-Haitami.”

A: “Dalam kitab al-Fatawa al-Haditsiyyah, halaman 200, al-Imam Ibnu Hajar mengutip perkataan ulama Hanabilah, ana kira beliau al-Hafizh Ibnu Rojab al-Hanbali, dalam kitabnya Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam. Dan beliau mengisyaratkan ketidaksetujuannya. Beliau berkata beigini:

وَفَسَّرَ بَعْضُهُمْ الْبِدْعَةَ بِمَا يَعُمُّ جَمِيْعَ مَا قَدَّمْنَا وَغَيْرِهِ فَقَالَ هِيَ مَا لَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ شَرْعِيٌّ عَلَى أَنَّهُ وَاجِبٌ أَوْ مُسْتَحَبٌّ سَوَاءٌ اَفُعِلَ فِيْ عَهْدِهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ لَمْ يُفْعَلْ …. وَقَوْلُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي التَّرَاوِيْحِ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هِيَ أَرَادَ الْبِدْعَةَ اللُّغَوِيَّةَ وَهُوَ مَا فُعِلَ عَلىَ غَيْرِ مِثَالٍ كَمَا قَالَ تَعَالَى قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ وَلَيْسَتْ بِدْعَةً شَرْعًا فَإِنَّ الْبِدْعَةَ الشَّرْعِيَّةَ ضَلاَلَةٌ كَمَا قَالَ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَنْ قَسَمَهَا مِنَ الْعُلَمَاءِ إِلَى حَسَنٍ وَ غَيْرِ حَسَنٍ فَإِنَّمَا قَسَّمَ الْبِدْعَةَ اللُّغَوِيَّةَ وَمَنْ قَالَ كُلُّ بِدْعَةٍ صَلاَلَةٌ فَمَعْنَاهُ الْبِدْعَةُ الشَّرْعِيَّةُ.

“Sebagian ulama menafsirkan bid’ah dengan sesuatu yang mencakup terhadap semua apa yang kami kemukakan dan lainnya.

Ia berkata, bid’ah adalah sesuatu yang belum pernah ada dalil syar’iy bahwa hal itu wajib atau sunnah, baik pernah dikerjakan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau belum pernah dikerjakan. 

Sedangkan perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu mengenai shalat Taraweh, “Sebaik-baik bid’ah adalah taraweh ini”, adalah bid’ah secara bahasa.Yaitu sesuatu yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. 

Sebagaimana Allah ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul”.

Perkataan Umar maksudnya bukan bid’ah secara syar’iy. Karena bid’ah syar’iyyah itu sesat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan ulama yang membagi bid’ah menjadi hasanah dan tidak hasanah, hanyalah membagi bid’ah lughawiyyah.

Sedangkan ulama yang berpendapat semua bid’ah sesat, maknanya adalah bid’ah syar’iyyah.” (Ibnu Hajar, al-Fatawa al-Haditsiyyah, hal. 200).

Nah, perkataan al-Imam Ibnu Hajar di atas, sangat jelas, kalau beliau mengutip pernyataan ulama lain, dengan isyarat beliau kurang setuju.”

W: “Di mana isyarat ketidaksetujuan itu akhi?”

A: “Ada beberapa indikasi bahwa beliau kurang setuju.

Pertama, Imam Ibnu Hajar berkata, “qoola ba’dhuhum (berkata sebagian ulama)”, tanpa menyebutkan siapa nama ulama tersebut, sebagai bukti beliau hanya mengutip saja.

Kalau beliau setuju dan menjadikannya sebagai pedoman, tentu beliau akan menyebutkan siapa nama ulama tersebut, atau tanpa kalimat qoola (telah berkata) seperti yang beliau lakukan dalam kitab tersebut sebelumnya.

Kedua, sebelum bahasan di atas, Imam Ibnu Hajar telah mengutip pendapat Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam tentang pembagian bid’ah menjadi lima. (al-Fatawa al-Haditsiyyah, halaman 109).

Ketiga, ketika menjelaskan hadits kullu bid’atin dholalah, dalam kiitabnya al-Fath al-Mubin bi-Syarh al-Arba’in, 475-478, al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami, dengan tegas menyatakan bahwa hadits kullu bid’atin dholalah, adalah redaksi general yang jangkauan hukumnya terbatas (‘aam uriida bihi khaashsh), dan bahwa bid’ah dibagi menjadi 5.”

W: “Waduh akhi, berarti pihak Wahabi dalam dialog Batam melakukan plintiran opnini ya?”

A: “Mungkin mereka mencari melalui program Maktabah Syamilah dengan kode entri bid’ah lughawiyyah. Begitu ditemukan langsung dipahami bahwa al-Imam Ibnu Hajar mengikuti madzhab bid’ah lughawiyyah, tanpa membaca komentar beliau secara utuh. Jadi hanya membaca sepotong saja.”

W: “Akhi, kata antum tadi, ulama yang mengikuti konsep bid’ah lughawiyyah, sepertinya berbeda dengan bid’ah lughawiyyah nya Wahabi. Apa benar begitu akhi?”

A: “Ya jelas berbeda.
Begini, seperti dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Rojab al-Hanbali dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, dan al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah halaman 200,

Menurut ulama yang mengikuti konsep bid’ah lughawiyyah, semua bid’ah itu pasti sesat, sedangkan bid’ah yang tidak sesat, atau yang disebut bid’ah hasanah dalam istilah Syafi’iyyah, oleh mereka disebut dengan Sunnah Syar’iyyah, karena dalilnya ada dari syara’.

Jadi hanya perbedaan istilah saja. Jadi sangat berbeda dengan wahabi sekarang. Menurut wahabi, setiap bid’ah itu sesat, sedangkan hal-hal yang dianggap bid’ah hasanah oleh kelompok lain, mereka anggap sesat juga. Wahabi banyak memelintir istilah ulama dulu”.

W: “Akhi, apa antum menemukan kejanggalan dalam fatwa-fatwa Syaikh Ibnu Baz, terkait dengan konsep bid’ah lughawiyyah nya al-Hafizh Ibnu Rojab al-Hanbali?
Ibnu Rojab ini akhi termasuk murid Syaikh Ibnu Taimiyah dan pandangannya diakui di kalangan Hanabilah.”

A: “Ya banyak kejanggalannya.”

W: “Contohnya apa akhi?”

A: “Menurut Syaikh Ibnu Baz, selamatan 40 dan 100 hari, pada dasarnya boleh. Yang haram menentukan 40 atau 100 harinya itu.

Sedangkan menurut al-Hafizh Ibnu Rojab, dalam kitabnya Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, menentukan waktu tertentu dalam amal shaleh itu tidak haram, dan hukumnya boleh.

Dalil Ibnu Rojab sangat kuat, dari pandangan ulama salaf yang shaleh. Kalau dalil Ibnu Baz, tidak jelas dan sangat lemah”.

W: “Bisa dipaparkan lebih jelas akhi?”

A: “Jangan sekarang. Kita teruskan saja besok. Insya Allah.”

(Muhammad Idrus Ramli)
www.idrusramli.com

Editor: DBC_KPNULVIII

Share:

RUTINAN DZIKIR BERSAMA DAN TAHLILAN DENGAN SATU SUARA .

Muslimedianews.com ~

WAHABI: “Anda belum menjawab, alasan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah membid’ahkan doa bersama setelah shalat, baik dimpimpin oleh seorang imam atau berdoa sendiri-sendiri.”

 

SUNNI: “Doa bersama dengan dipimpin oleh seorang imam, itu telah diamalkan oleh umat Islam sejak generasi salaf, dan memiliki dasar yang sangat kuat dalam al-Qur’an dan hadits.”

WAHABI: “Owh, mana dalil al-Qur’an nya?

SUNNI: “Dalam al-Qur’an, Allah subhanahu wata’ala menceritakan tentang dikabulkannya doa Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalaam:

قَالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا. (يونس : ٨٩(

“Allah berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan doa kamu berdua, oleh karena itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus.” (QS. Yunus : 89).

Dalam ayat di atas, al-Qur’an menegaskan tentang dikabulkannya doa Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalaam.

Padahal yang berdoa sebenarnya Nabi Musa ‘alaihissalaam, sedangkan Nabi Harun ‘alaihissalaam hanya mengucapkan amin, sebagaimana diterangkan oleh para ulama ahli tafsir.

Nabi Musa ‘alaihissalam yang berdoa dan Nabi Harun ‘alaihissalam yang mengucapkan amin, dalam ayat tersebut sama-sama dikatakan berdoa.

Hal ini menunjukkan bahwa doa bersama dengan dimpimpin oleh seorang imam adalah ajaran al-Qur’an, bukan ajaran terlarang.

(Bisa dilihat dalam Tafsir al-Hafizh Ibnu Katsir, 4/291).”

WAHABI: “Selain dalil al-Qur’an, apakah ada dalil hadits?”

SUNNI: “Ya ada. Misalnya hadits berikut ini:

Pertama, hadits Habib bin Maslamah al-Fihri:

عَنْ حَبِيْبِ بْنِ مَسْلَمَةَ الْفِهْرِيِّ وَكَانَ مُجَابَ الدَّعْوَةِ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: لاَ يَجْتَمِعُ قَوْمٌ مُسْلِمُوْنَ يَدْعُوْ بَعْضُهُمْ وَيُؤَمِّنُ بَعْضُهُمْ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَهُمْ. رواه الطبراني في الكبير و الحاكم في المستدرك وقال صحيح على شرط مسلم، وقال الحافظ الهيثمي في مجمع الزوائد: رجاله رجال الصحيح غير ابن لهيعة وهو حسن الحديث.

“Dari Habib bin Maslamah al-Fihri radhiyallahu ‘anhu –beliau seorang yang dikabulkan doanya-, berkata: “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Tidak lah berkumpul suatu kaum Muslimin, lalu sebagian mereka berdoa, dan sebagian lainnya mengucapkan amin, kecuali Allah pasti mengabulkan doa mereka.

” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [3536], dan al-Hakim dalam al-Mustadrak 3/347.

Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai persyaratan Muslim. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid 10/170, para perawi hadits ini adalah para perawi hadits shahih, kecuali Ibn Lahi’ah, seorang yang haditsnya bernilai hasan.”

Hadits di atas, memberikan petunjuk kepada kita, agar sering berkumpul untuk melakukan doa bersama, sebagian berdoa, dan yang lainnya membaca amin, agar doa dikabulkan.

Kedua, hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma

 

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اَلدَّاعِيْ وَالْمُؤَمِّنُ فِي اْلأَجْرِ شَرِيْكَانِ. رواه الديلمي في مسند الفردوس بسند ضعيف.

“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang berdoa dan orang yang membaca amin sama-sama memperoleh pahala.” (HR. al-Dailami [3039] dalam Musnad al-Firdaus dengan sanad yang lemah).

 

Kelemahan hadits ini dapat dikuatkan dengan hadits sebelumnya dan ayat al-Qur’an di atas.

 

Ketiga, hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

عن أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم : أُعْطِيتُ ثَلاَثَ خِصَالٍ : صَلاَةً فِي الصُّفُوفِ ، وَأُعْطِيتُ السَّلاَمَ وَهُوَ تَحِيَّةُ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَأُعْطِيتُ آمِينَ ، وَلَمْ يُعْطَهَا أَحَدٌ مِّمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ، إِلاَّ أَنْ يَكُونَ الله أَعْطَاهَا هَارُونَ ، فَإِنَّ مُوسَى كَانَ يَدْعُو وَيُؤَمِّنُ هَارُونَ. رواه الحارث وابن مردويه وسنده ضعيف

Anas bin Malik berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku dikaruniakan tiga perkara; shalat dalam shaf-shaf.

Aku dikaruniakan salam, yaitu penghormatan penduduk surga.

Dan aku dikaruniakan Amin, dan belum pernah seseorang sebelum kalian dikaruniakan Amin, kecuali Allah karuniakan kepada Harun.

Karena sesungguhnya Musa yang selalu berdoa, dan Harun selalu membaca amin.

(HR al-Harits bin Abi Usamah dan Ibnu Marduyah. Sanad hadits ini dha’if. Lihat, al-Amir al-Shan’ani, al-Tanwir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, 2/488).

 

Kelemahan hadits ini dapat diperkuat dengan hadits-hadits sebelumnya serta ayat al-Qur’an di atas.

Hadits di atas mengisyaratkan pentingnya membaca amin bagi orang orang lain, sebagaimana bacaan amin Nabi Harun ‘alaihissalam atas doa Nabi Musa ‘alaihissalam.

Keempat, hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha

 

عن عائشة - رضي الله عنها - عن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال: مَا حَسَدَتْكُمُ الْيَهُوْدُ عَلىَ شَيْءٍ مَا حَسَدُوْكُمْ عَلىَ السَّلاَمِ وَالتَّأْمِيْنِ أخرجه البخاري في الأدب المفرد وأحمد بمعناه ابن ماجة وقال البوصيري هذا إسناد صحيح، وإسحاق بن راهوية في مسنده قال الأمير الصنعاني قد صححه جماعة، وقال الحافظ ابن حجر صححه ابن خزيمة وأقره.

“Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang-orang Yahudi tidak hasud kepada kalian melebihi hasud mereka pada ucapan salam dan amin.”

(HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad [988], Ahmad 6/134, Ibnu Majah [856], dan Ibnu Rahawaih dalam al-Musnad [1122].

Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Hafizh al-Bushiri dan lain-lain. Lihat al-Amir al-Shan’ani, al-Tanwir Sayrh al-Jami’ al-Shaghir, 9/385).

Hadits di atas menganjurkan kita memperbanyak ucapan salam dan amin. Tentu saja ucapan salam kepada orang lain.

Demikian pula memperbanyak ucapan amin, baik untuk doa kita sendiri, maupun doa orang lain.

Hadits ini juga menjadi dalil, bahwa ajaran Syiah sangat dekat dengan Yahudi, karena sama-sama melarang membaca amin.

 

Dari paparan di atas, jelas sekali bahwa doa bersama, dengan dipimpin oleh seorang imam memang ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

WAHABI: “Bagaimana tanggapan Anda terhadap fatwa Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallahu ‘anhu berikut ini:

 

Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya:

 

يكره أن يجتمع القوم يدعون الله سبحانه وتعالى ويرفعون أيديهم؟

“Apakah diperbolehkan sekelompok orang berkumpul, berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan mengangkat tangan?”

 

Maka beliau mengatakan:

 

ما أكرهه للإخوان إذا لم يجتمعوا على عمد، إلا أن يكثروا

“Aku tidak melarangnya jika mereka tidak berkumpul dengan sengaja, kecuali kalau terlalu sering.” (Diriwayatkan oleh Al-Marwazy di dalam Masail Imam Ahmad bin Hambal wa Ishaq bin Rahuyah 9/4879)

 

SUNNI: “Semoga Allah meridhai dan merahmati Sayyidina al-Imam Ahmad bin Hanbal. Semoga Allah mengalirkan berkah beliau dan ilmunya kepada kami.

Fatwa Imam Ahmad bin Hanbal, tidak diikuti oleh mayoritas ulama. Dalam fatwa di atas, Imam Ahmad tidak suka orang-orang melakukan doa bersama dan dzikir bersama apabila dilakukan dengan sengaja dan terlalu sering.”

 

WAHABI: “Mengapa mayoritas ulama tidak mengikuti fatwa Imam Ahmad bin Hanbal? Bukankah beliau ulama salaf yang diakui kehebatannya dalam ilmu dan amal?”

 

SUNNI: “Mayoritas ulama menghargai fatwa beliau, tetapi tidak mengikutinya, karena dalil-dalil Sunnah sangat kuat menganjurkan doa bersama dan dzikir bersama. 

Sebagaimana dimaklumi, Imam Ahmad dalam fatwanya tidak menjelaskan dalilnya, dan para ulama Wahabi juga tidak pernah menjelaskan dalil beliau.”

 

WAHABI: “Mana dalilnya? Jangan-jangan dalilnya hanya sedikit.”

 

SUNNI: “Akhi, dalil itu, selama metode istinbath nya shahih, meskipun hanya ada satu dalil, itu sudah dibenarkan dalam kacamata agama.

Apalagi dalilnya banyak. Selain dalil-dalil di atas, yang menganjurkan doa bersama, banyak sekali hadits-hadits yang menganjurkan doa bersama dan dzikir bersama. Misalnya hadits berikut ini:

 

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إِنَّ للهِ مَلائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِي قَالُوا يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ هَلْ رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَتَحْمِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنْ النَّارِ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنْ الْمَلَائِكَةِ فِيهِمْ فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ قَالَ هُمْ الْجُلَسَاءُ لا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رواه البخاري ومسلم

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah memiliki banyak malaikat yang selalu mengadakan perjalanan, mereka senantiasa mencari orang-orang yang berdzikir.

Apabila mereka mendapati satu kaum sedang berdzikir kepada Allah, maka mereka akan saling berseru:

“Mintalah hajat kalian.” Beliau melanjutkan: “Lalu para malaikat itu mengelilingi dengan sayap-sayapnya hingga memenuhi jarak antara mereka dengan langit dunia.

”Beliau melanjutkan: “Lalu Tuhan mereka menanyakan mereka padahal Dia lebih mengetahui dari pada mereka:

“Apa yang dikatakan oleh hamba-hamba-Ku? ” Para malaikat itu menjawab:

“Mereka mensucikan, membesarkan, memuji dan mengagungkan-Mu.

”Allah bertanya lagi: “Apakah mereka pernah melihat-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Demi Allah, mereka tidak pernah melihat-Mu.

”Allah bertanya lagi: “Bagaimana seandainya mereka pernah melihat-Ku?”

Para malaikat itu menjawab: “Seandainya mereka pernah melihat-Mu, tentu mereka akan lebih bersungguh-sungguh beribadah, mengagungkan dan semakin banyak mensucikan-Mu.

”Allah bertanya lagi: “Apa yang mereka minta kepada-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Mereka memohon surga-Mu.”

Allah bertanya lagi: “Apakah mereka sudah pernah melihat surga-Ku?”

Para malaikat itu menjawab: “Belum wahai Tuhan kami.”

Allah bertanya lagi: “Bagaimana jika mereka telah melihat surga-Ku?”

Para malaikat itu menjawab: “Tentu mereka akan lebih bersungguh-sungguh memohon dan menginginkannya.”

Allah bertanya lagi: “Dari apakah mereka memohon perlindungan-Ku?”

Para malaikat itu menjawab: “Dari neraka-Mu.”

Allah bertanya lagi: “Apakah mereka sudah pernah melihat neraka-Ku?”

Para malaikat itu menjawab: “Demi Allah, mereka belum pernah melihat neraka-Mu.” 

Allah bertanya lagi: “Bagaimana seandainya mereka pernah melihat neraka-Ku?” 

Para malaikat itu itu menjawab: “Tentu mereka akan semakin lari dan takut pada neraka itu.”

Beliau melanjutkan: “Kemudian Allah berfirman: “Saksikanlah oleh kalian, bahwa Aku sudah mengampuni mereka.”

Beliau melanjutkan lagi, “Lalu sebagian malaikat itu berkata: “Wahai Tuhan kami!

Di antara mereka terdapat si Fulan, ia bukanlah termasuk orang-orang yang berdzikir, hanya saja ia kebetulan datang karena ada keperluan (duduk bersama mereka).”

Lalu Allah menjawab: “Mereka adalah kaum yang tidak akan sengsara orang yang ikut duduk bersama mereka.” (HR. al-Bukhari [6408] dan Muslim [4854]).

Hadits di atas jelas memberikan pelajaran tentang keutamaan majlis dzikir. Kita dianjurkan memperbanyak majlis dzikir.

Kemudian di bagian akhir hadits tersebut dijelaskan, tentang keutamaan orang yang tidak sengaja datang kepada mereka, lalu diampuni, padahal tidak bermaksud menjadi peserta majlis dzikir.

Nah, apabila orang yang tidak sengaja datang, begitu besar pahalanya, apalagi orang yang sengaja datang, tentu lebih besar pahalanya. Bukankah begitu akhi? 

(Lihat, al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 11 hal. 213).

 

WAHABI: “Tapi kalau dalam dzikir, membaca dzikiran dengan satu suara itu kan tidak ada dalilnya? Berarti kan bid’ah dholalah dan masuk neraka.”

 

SUNNI: “Akhi, sebaiknya Anda jangan mudah berburuk sangka kepada umat Islam yang rajin beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.

 

Apalagi ibadah mereka telah dituntun oleh para ulama sejak awal-awal Islam masuk ke Indonesia. Mereka ulama yang sangat alim ilmunya akhi.

 

Tidak bisa dibandingkan dengan kita-kita yang hanya tahu sedikit sekali ilmu agama. Coba perhatikan hadits ini:

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ إِلاَّ حَفَّتْهُمْ الْمَلائِكَةُ وَتَغَشَّتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ. رواه أحمد وعبد بن حميد وعبد الرزاق وابن أبي شيبة والطبراني.

 

Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Tidaklah berkumpul suatu kaum, mereka berdzikir kepada Allah, melainkan para malaikat mengelilingi mereka, rahmat Allah menaungi mereka, ketenangan dari Allah turun kepada mereka dan Allah menyebutkan mereka di antara orang-orang yang bersama-Nya.”

(HR. Ahmad [11892], Abd bin Humaid [861], Abdurrazzaq [20577], dan al-Thabarani dalam al-Ausath [1500]).

Hadits di atas, memberikan pelajaran tentang keutamaan dzikir berjamaah atau dzikir bersama.

 

WAHABI: “Ya walaupun dzikir bersama, tapi bacaannya kan tidak perlu seragam seperti paduan suara akhi.”

 

SUNNI: “Akhi, Anda mengerti makna berjamaah? Seandainya ada seratus orang berkumpul di Masjid, tapi shalatnya dilakukan sendiri-sendiri, apakah dinamakan shalat berjamaah? 

Tentu tidak kan? Nah, dzikir berjamaah itu juga demikian, mereka sama-sama membaca, baik membaca sendiri-sendiri atau dengan satu suara seperti paduan suara.

Hal ini juga dipertegas dengan hadits lain tentang membaca satu suara:

 

عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ إِنَّا لَعِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه ووسلم إِذْ قَالَ هَلْ فِيْكُمْ غَرِيْبٌ يَعْنِيْ أَهْلَ الْكِتَابِ قُلْنَا لاَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَأَمَرَ بِغَلْقِ الْبَابِ فَقَالَ ارْفَعُوْا أَيْدِيَكُمْ فَقُوْلُوْا لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ فَرَفَعْنَا أَيْدِيَنَا سَاعَةً ثُمَّ وَضَعَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه ووسلم يَدَهُ ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ للهِ اللّهُمَّ إِنَّكَ بَعَثْتَنِيْ بِهَذِهِ الْكَلِمَةِ وَأَمَرْتَنِيْ بِهَا وَوَعَدْتَنِيْ عَلَيْهَا الْجَنَّةَ إِنَّكَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ ثُمَّ قَالَ أَبْشِرُوْا فَإِنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لَكُمْ. (رواه أحمد والحاكم والطبراني والبزار وحسنه الحافظ المنذري(

“Syaddad bin Aus berkata, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba beliau berkata, “Apakah di antara kalian ada orang asing (ahli kitab)?” Kami menjawab, “tidak ada wahai Rasulullah.” Lalu beliau memerintahkan agar mengunci pintu dan berkata, “Angkatlah tangan kalian, lalu katakan Laa ilaaha illallaah!” Kami mengangkat tangan beberapa saat, kemudian Rasulullah meletakkan tangannya. Lalu bersabda, “Alhamdulillah. Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengutusku membawa kalimat tauhid ini, Engkau memerintahkannya kepadaku dan menjanjikanku surga karenanya, sesungguhnya Engkau tidak akan menyalahi janji.” Kemudian beliau bersabda, “Bergembiralah, sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian.”

(HR. Ahmad [17121], al-Hakim 1/501, al-Thabarani dalam Musnad al-Syamiyyin [921], dan al-Bazzar.

Hadits ini dihasankan oleh al-Hafizh al-Mundziri dalam al-Targhib wa al-Tarhib 2/415).

 

Perhatikan, dalam hadits di atas, para sahabat membaca kalimah thoyyibah bersama-sama berdasarkan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

Wallahu a’lam. bersambung

 

Oleh Ustadz Muhammad Idrus Ramli

Editor: DBC_KPNULVIII

 

Share:

Total KUNJUNGAN