AL-IMAM IBNU HAJAR AL-HAITAMI DAN BID’AH LUGHAWIYYAH
BEDAH DIALOG BATAM
Dalam sebuah dialog santai di sebuah acara tahlilan di Indonesia bagian Barat, antara Ustadz Nashirul Islam dari pihak Ahlussunnah Wal-Jama’ah (kami singkat A) dan Ustadz Huwaini dari pihak Wahabi (kami singkat W). diganggu dengan teman lama mereka yang kini datang berkunjung untuk silaturrahmi.
Tapi teman lama tersebut telah berubah, karena menjadi salah satu pengikut Syiah Rofidhoh. Ia bernama Ustadz Jusi (kami singkat S). Terjadilah dialog sebagai berikut.
W: “Akhi, kemarin antum berjanji akan berbicara soal bid’ah lughawiyyah.
Bagaimana kalau diskusi kemarin kita hentikan dulu akhi. Sekarang kita berdiskusi tentang aliran Syiah yang diikuti oleh teman lama kita Ustadz Jusi ini.?”
A: “Apanya yang perlu kita diskusikan soal aliran Syiah. Ana dan antum kan sudah sepakat bahwa Syiah itu memang aliran menyimpang?”
S: “Begini akhi, antum berdua kan bersemangat memerangi Syiah. Sebenarnya apa sih ruginya bangsa Indonesia kalau menerima Syiah sebagai salah satu aliran yang berkembang dan hidup berdampingan dengan rukun dan damai?”
A: “Afwan akhi, ana agak kurang fit kalau sekarang diskusi soal Syiah. Kita diskusi besok aja soal Syiah. Sekarang kita melanjutkan diskusi kemarin soal bid’ah lughawiyyah Imam Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah. Bagaimana antum setuju semua?”
W: “Ya tidak apa-apa akhi. Tapi maaf, antum jangan berkata bahwa kaum Wahabi seperti dalam dialog di Batam telah melakukan kecurangan. Katakan saja, salah faham lah. Agar bahasanya lebih halus sedikit. Bagaimana, setuju akhi?”
A: “Thoyyib akhi. Memang kemungkinan dari pihak Wahabi dalam dialog Batam salah faham dalam membaca kitab-kitab fiqih Syafi’iyah. Karena mereka hanya terbiasa membaca kitab-kitab Wahabi begitu. Terus apanya yang akan kita diskusikan akhi?”
W: “Begini akhi, dalam dialog Batam, pihak Ahlussunnah tidak mau menerima istilah bid’ah lughawiyyah, padahal itu telah diakui oleh al-Imam al-Muhaqqiq Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-Fatawa al-Haditsiyyah.”
Mendengar ucapan W tersebut, S atau Ustadz Jusi yang menganut Syiah justru tersenyum simpul. Sepertinya ia faham, bahwa W kurang teliti dalam membaca kitab-kitab klasik.
A: “Begini akhi. Menurut hemat ana, pihak Ahlussunnah dalam dialog Batam, tidak menerima istilah bid’ah lughawiyyah, karena mereka penganut madzhab Syafi’i.
Imam al-Syafi’i sudah tegas membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah.
Dan itu bukan dalam konteks lughawiyah atau bahasa. Hujjah Syafi’iyyah dalam masalah ini sangat kuat akhi. Antum sulit untuk membantahnya.
Coba antum pikir, kalau perkataan Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu “ni’matil-bid’ah hadzihi (sebaik-baik bid’ah adalah shalat taraweh ini)”, antum artikan dengan bid’ah secara bahasa, lalu bagaimana kalau pihak Ahlussunnah bertanya.
“Penafsiran perkataan Khalifah Umar dengan bid’ah secara bahasa, itu apakah dari Khalifah Umar sendiri, atau dari Antum?”
Kalau Antum menjawab, dari pihak Umar sendiri, antum pasti berbohong, karena tidak ada dalam riwayat-riwayat kitab hadits manapun.
Kalau Antum menjawab, dari ulama antum, bukan dari Khalifah Umar, maka pihak Ahlussunnah akan menggugat lagi.
Bahwa Khalifah Umar mengeluarkan perkataan tersebut bukan dalam kapasitas sebagai dosen bahasa arab, akan tetapi dalam kapasitas sebagai Khulafaur Rasyidin yang syar’iy, yang kebijakannya menjadi sunnah yang harus diikuti.
Nah, dengan gugatan seperti ini, pihak Wahabi tidak akan bias menjawab akhi.”
W: “Tapi akhi, al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami, mengakui bid’ah lughawiyyah dalam kitabnya al-Fatawa al-Haditsiyyah. Bagaimana tanggapan antum akhi?”
A: “Justru ini letak kesalahan pihak Wahabi. Pertama, mereka tidak mengerti maksud istilah bid’ah lughawiyyah yang dikatakan oleh penganut madzhab ini, yaitu madzhab Hanbali. Kedua, mereka tidak mengerti istilah para ulama dalam menulis kitab syar’iy.”
W: “Maaf akhi, tolong antum jelaskan lebih rinci tentang bid’ah lughawiyyah nya Ibnu Hajar al-Haitami.”
A: “Dalam kitab al-Fatawa al-Haditsiyyah, halaman 200, al-Imam Ibnu Hajar mengutip perkataan ulama Hanabilah, ana kira beliau al-Hafizh Ibnu Rojab al-Hanbali, dalam kitabnya Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam. Dan beliau mengisyaratkan ketidaksetujuannya. Beliau berkata beigini:
وَفَسَّرَ بَعْضُهُمْ الْبِدْعَةَ بِمَا يَعُمُّ جَمِيْعَ مَا قَدَّمْنَا وَغَيْرِهِ فَقَالَ هِيَ مَا لَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ شَرْعِيٌّ عَلَى أَنَّهُ وَاجِبٌ أَوْ مُسْتَحَبٌّ سَوَاءٌ اَفُعِلَ فِيْ عَهْدِهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ لَمْ يُفْعَلْ …. وَقَوْلُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي التَّرَاوِيْحِ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هِيَ أَرَادَ الْبِدْعَةَ اللُّغَوِيَّةَ وَهُوَ مَا فُعِلَ عَلىَ غَيْرِ مِثَالٍ كَمَا قَالَ تَعَالَى قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ وَلَيْسَتْ بِدْعَةً شَرْعًا فَإِنَّ الْبِدْعَةَ الشَّرْعِيَّةَ ضَلاَلَةٌ كَمَا قَالَ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَنْ قَسَمَهَا مِنَ الْعُلَمَاءِ إِلَى حَسَنٍ وَ غَيْرِ حَسَنٍ فَإِنَّمَا قَسَّمَ الْبِدْعَةَ اللُّغَوِيَّةَ وَمَنْ قَالَ كُلُّ بِدْعَةٍ صَلاَلَةٌ فَمَعْنَاهُ الْبِدْعَةُ الشَّرْعِيَّةُ.
“Sebagian ulama menafsirkan bid’ah dengan sesuatu yang mencakup terhadap semua apa yang kami kemukakan dan lainnya.
Ia berkata, bid’ah adalah sesuatu yang belum pernah ada dalil syar’iy bahwa hal itu wajib atau sunnah, baik pernah dikerjakan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau belum pernah dikerjakan.
Sedangkan perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu mengenai shalat Taraweh, “Sebaik-baik bid’ah adalah taraweh ini”, adalah bid’ah secara bahasa.Yaitu sesuatu yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya.
Sebagaimana Allah ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul”.
Perkataan Umar maksudnya bukan bid’ah secara syar’iy. Karena bid’ah syar’iyyah itu sesat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan ulama yang membagi bid’ah menjadi hasanah dan tidak hasanah, hanyalah membagi bid’ah lughawiyyah.
Sedangkan ulama yang berpendapat semua bid’ah sesat, maknanya adalah bid’ah syar’iyyah.” (Ibnu Hajar, al-Fatawa al-Haditsiyyah, hal. 200).
Nah, perkataan al-Imam Ibnu Hajar di atas, sangat jelas, kalau beliau mengutip pernyataan ulama lain, dengan isyarat beliau kurang setuju.”
W: “Di mana isyarat ketidaksetujuan itu akhi?”
A: “Ada beberapa indikasi bahwa beliau kurang setuju.
Pertama, Imam Ibnu Hajar berkata, “qoola ba’dhuhum (berkata sebagian ulama)”, tanpa menyebutkan siapa nama ulama tersebut, sebagai bukti beliau hanya mengutip saja.
Kalau beliau setuju dan menjadikannya sebagai pedoman, tentu beliau akan menyebutkan siapa nama ulama tersebut, atau tanpa kalimat qoola (telah berkata) seperti yang beliau lakukan dalam kitab tersebut sebelumnya.
Kedua, sebelum bahasan di atas, Imam Ibnu Hajar telah mengutip pendapat Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam tentang pembagian bid’ah menjadi lima. (al-Fatawa al-Haditsiyyah, halaman 109).
Ketiga, ketika menjelaskan hadits kullu bid’atin dholalah, dalam kiitabnya al-Fath al-Mubin bi-Syarh al-Arba’in, 475-478, al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami, dengan tegas menyatakan bahwa hadits kullu bid’atin dholalah, adalah redaksi general yang jangkauan hukumnya terbatas (‘aam uriida bihi khaashsh), dan bahwa bid’ah dibagi menjadi 5.”
W: “Waduh akhi, berarti pihak Wahabi dalam dialog Batam melakukan plintiran opnini ya?”
A: “Mungkin mereka mencari melalui program Maktabah Syamilah dengan kode entri bid’ah lughawiyyah. Begitu ditemukan langsung dipahami bahwa al-Imam Ibnu Hajar mengikuti madzhab bid’ah lughawiyyah, tanpa membaca komentar beliau secara utuh. Jadi hanya membaca sepotong saja.”
W: “Akhi, kata antum tadi, ulama yang mengikuti konsep bid’ah lughawiyyah, sepertinya berbeda dengan bid’ah lughawiyyah nya Wahabi. Apa benar begitu akhi?”
A: “Ya jelas berbeda.
Begini, seperti dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Rojab al-Hanbali dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, dan al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah halaman 200,
Menurut ulama yang mengikuti konsep bid’ah lughawiyyah, semua bid’ah itu pasti sesat, sedangkan bid’ah yang tidak sesat, atau yang disebut bid’ah hasanah dalam istilah Syafi’iyyah, oleh mereka disebut dengan Sunnah Syar’iyyah, karena dalilnya ada dari syara’.
Jadi hanya perbedaan istilah saja. Jadi sangat berbeda dengan wahabi sekarang. Menurut wahabi, setiap bid’ah itu sesat, sedangkan hal-hal yang dianggap bid’ah hasanah oleh kelompok lain, mereka anggap sesat juga. Wahabi banyak memelintir istilah ulama dulu”.
W: “Akhi, apa antum menemukan kejanggalan dalam fatwa-fatwa Syaikh Ibnu Baz, terkait dengan konsep bid’ah lughawiyyah nya al-Hafizh Ibnu Rojab al-Hanbali?
Ibnu Rojab ini akhi termasuk murid Syaikh Ibnu Taimiyah dan pandangannya diakui di kalangan Hanabilah.”
A: “Ya banyak kejanggalannya.”
W: “Contohnya apa akhi?”
A: “Menurut Syaikh Ibnu Baz, selamatan 40 dan 100 hari, pada dasarnya boleh. Yang haram menentukan 40 atau 100 harinya itu.
Sedangkan menurut al-Hafizh Ibnu Rojab, dalam kitabnya Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, menentukan waktu tertentu dalam amal shaleh itu tidak haram, dan hukumnya boleh.
Dalil Ibnu Rojab sangat kuat, dari pandangan ulama salaf yang shaleh. Kalau dalil Ibnu Baz, tidak jelas dan sangat lemah”.
W: “Bisa dipaparkan lebih jelas akhi?”
A: “Jangan sekarang. Kita teruskan saja besok. Insya Allah.”
(Muhammad Idrus Ramli)
www.idrusramli.com
Editor: DBC_KPNULVIII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar