Dalam Proses Persiapan
Agenda
de badrunsMaret 21, 2014
1. Tanggal 11 Mei 2014, Turba perdana di desa ngelo dusun Jipangulu.
2. Tanggal 10 Agustus 2014, hari ahad. Turba II di desa Kalangan Masjid Al-Amin Suryo.
Tiga Ciri Utama Ajaran Ahlussunnah wal Jamaah
de badrunsMaret 21, 2014
Ada tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut
dengan Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para
sahabatnya:
Pertama, at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT:
Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian.(QS al-Baqarah: 143).
Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:
Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti
kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan
neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.
(QS al-Hadid: 25)
Ketiga, al-i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil.
Pertama, at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً
Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian.(QS al-Baqarah: 143).
Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
Ketiga, al-i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء
بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ
تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ
إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil.
Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku
tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada
taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)
Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi.
Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi.
Yakni menghargai perbedaan serta menghormati
orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti
mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam
meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:
Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44)
Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun.
فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44)
Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun.
Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774
H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya
dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan
perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah.
Hal itu
dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih
berfaedah". (Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206).
Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44)
1. Akidah.
a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli.
b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.
2. Syari'ah
a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44)
1. Akidah.
a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli.
b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.
2. Syari'ah
a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as (sharih/qotht'i).
c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).
3. Tashawwuf/ Akhlak
a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).
4. Pergaulan antar golongan
a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.
b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.
5. Kehidupan bernegara
a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.
d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.
6. Kebudayaan
a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.
b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).
7. Dakwah
a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.
KH Muhyidin Abdusshomad
Pengasuh Pesantren Nurul Islam Jember
Editor: DBCLVIII
PERANTARA SYIRIK
de badrunsMaret 21, 2014
Banyak orang keliru dalam memahami esensi perantara (wasithah).
Mereka memvonis dengan gegabah bahwa perantara adalah tindakan musyrik dan menganggap bahwa siapapun yang menggunakan perantara dengan cara apapun telah menyekutukan Allah swt.
Dan sikapnya sama dengan sikap orang-orang musyrik yang mengatakan:
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." (QS. az-Zumar:3)
Kesimpulan ini jelas salah dan berargumentasi dengan ayat di atas adalah bukan pada tempatnya.
Karena ayat tersebut jelas menunjukkan pengingkaran terhadap orang musyrik menyangkut penyembahan mereka terhadap berhala dan menjadikannya sebagai tuhan selain Allah swt.
Serta menjadikan berhala sebagai sekutu dalam ketuhanan dengan anggapan bahwa penyembahan mereka terhadap berhala mendekatkan mereka kepada Allah swt.
Jadi, kekufuran dan kemusyrikan kaum mussyrikin adalah dari aspek penyembahan mereka terhadap berhala dan dari aspek keyakinan mereka bahwa berhala adalah tuhan-tuhan di luar Allah swt.
Di sini ada masalah yang urgen untuk dijelaskan, yaitu bahwa ayat di atas menyatakan bahwa kaum musyrikin, sesuai yang digambarkan Allah swt., tidak meyakini dengan serius ucapan mereka yang membenarkan penyembahan berhala:
"Kami tidak menyembah mereka kecuali semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah".
Jika ucapan kaum musyrikin tersebut sungguh-sungguh niscaya Allah swt. lebih agung daripada berhala dan mereka tidak akan menyembah selainNya.
Allah telah melarang kaum muslimin untuk memaki berhala-berhala kaum musyrikin, lewat firmanNya:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. al-An`am:108)
Abdurrazaq, Abd ibn Hamid, Ibn Jarir, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan Abu asy-Syaikh meriwayatkan dari Qatadah bahwa Rasulullah saw. Berkata:
“Awalnya Kaum muslimin memaki berhala-berhala orang kafir. Akhirnya mereka memaki Allah. Lalu turunlah ayat 108 surat al-An'am di atas.
Peristiwa inilah yang menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut. Berarti ayat tersebut melarang dengan keras kaum mu’minin untuk melontarkan kalimat yang bernada merendahkan terhadap batu-batu yang disembah oleh kaum paganis di Makkah.
Karena melontarkan kalimat seperti itu mengakibatkan kemurkaan kaum paganis karena membela bebatuan yang mereka yakini dari lubuk hati paling dalam sebagai tuhan yang memberi manfaat dan menolak bahaya.
Jika mereka emosi maka akan balik memaki Tuhan kaum muslimin, Allah swt. dan melecehkanNya dengan berbagai kekurangan padahal Dia bebas dari segala kekurangan.
Jika mereka meyakini dengan sebenarnya bahwa penyembahan kepada berhala sekedar untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. niscaya mereka tidak akan berani memaki Allah swt. untuk membalas orang yang memaki tuhan-tuhan mereka.
Fakta ini menunjukkan dengan jelas bahwa keberadaaan Allah swt. dalam hati mereka jauh lebih sedikit dari pada keberadaaan bebatuan yang disembah.
Ayat lain yang menunjukkan ketidakjujuran orang kafir adalah:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
"Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (QS. Luqman:25)
Bila orang-orang kafir meyakini dengan jujur bahwa hanya Allah swt. Sang Pencipta dan bahwa berhala-berhala itu tidak mampu menciptakan apa-apa niscaya mereka akan menyembah Allah swt. semata.
Tidak menyembah berhala atau minimal penghormatan mereka terhadap Allah swt. melebihi penghormatan kepada patung-patung dari batu tersebut.
Apakah jawaban mereka dalam ayat ini relevan dengan makian mereka terhadap Allah swt. sebagai bentuk pembelaan terhadap berhala-berhala mereka dan pelampiasan dendam terhadap Allah swt?
Secara spontan kita akan menjawab sampai kapanpun hal ini tidak relevan. Ayat di atas bukanlah satu-satunya ayat yang menunjukkan bahwa di mata mereka Allah swt. lebih rendah dari patung-patung yang mereka sembah.
Banyak ayat senada seperti :
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلَا يَصِلُ إِلَى اللَّهِ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى شُرَكَائِهِمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
"Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami".
Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu." (QS. al-An`am:136)
Seandainya di mata mereka Allah swt. tidak lebih rendah dibanding patung-patung tersebut maka mereka tidak akan mengunggulkannya dalam bentuk seperti yang diceritakan ayat ini dan tidak layak mendapat vonis
" سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ " .
Salah satu ungkapan yang masuk kategori di atas adalah perkataan Abu Sufyan sebelum masuk Islam, “Mulialah engkau wahai Hubal!” sebagaimana riwayat al-Bukhari.
Pujian ini dialamatkan kepada berhala mereka yang bernama Hubal agar dalam kondisi kritis mampu mengatasi Allah Tuhan langit dan bumi serta agar ia dan pasukannya mampu mengalahkan tentara mukmin yang hendak menghancurkan berhala-berhala mereka.
Ini adalah gambaran dari sikap orang musyrik menyangkut berhala dan Allah swt.
Pengertian bahwa penghormatan bukan berarti penyembahan terhadap obyek yang dihormati harus dipahami dengan baik karena banyak orang tidak memahaminya dengan benar lalu membangun persepsi-persepsi yang sesuai dengan pemahamannya.
Apakah tidak engkau perhatikan ketika Allah swt. menyuruh kaum muslimin menghadap Ka’bah saat shalat, mereka menyembah menghadapnya dan menjadikannya sebagai kiblat? Tetapi Ka’bah bukanlah obyek penyembahan.
Mencium Hajar Aswad adalah penghambaan kepada Allah swt. dan mengikuti Nabi saw. Seandainya ada kaum muslimin yang berniat menyembah Ka’bah dan Hajar Aswad niscaya mereka menjadi musyrik sebagaimana para penyembah berhala.
Perantara (mediator/ wasithah) adalah sesuatu yang harus ada. Eksistensinya bukanlah sebagai bentuk kemusyrikan.
Tidak semua orang yang menggunakan mediator antara dirinya dan Allah swt. dipandang musyrik. Jika semua dianggap musyrik niscaya semua orang dikategorikan musyrik karena segala urusan mereka didasarkan atas eksistensi mediator.
Nabi Muhammad saw. menerima al-Qur’an via Jibril dan Jibril adalah mediator beliau.
Sedang Nabi saw. adalah mediator besar bagi para sahabat.
Ketika mengalami problem yang berat mereka datang dan mengadukannya kepada beliau dan menjadikannya sebagai mediator menuju Allah swt.
Mereka memohon doa kepada beliau dan beliau tidak menjawab, “Kalian telah musyrik dan kafir karena tidak boleh mengadu dan memohon kepada saya. Kalian harus datang, berdoa dan memohon sendiri karena Allah lebih dekat dengan kalian dari pada saya”.
Nabi saw. tidak pernah berkata demikian. Beliau malah berdiam dan memohon pada saat di mana mereka mengatahui bahwa Pemberi Sejati adalah Allah swt. dan yang mencegah, melimpahkan dan pemberi rizqi juga Allah swt.
Mereka juga tahu bahwa beliau saw. memberi atas izin dan karunia Allah swt.
Beliaulah yang mengatakan, ”Saya adalah pembagi dan Allah adalah pemberi”.
Berangkat dari pengertian bahwa penghormatan bukan berarti penyembahan terhadap obyek yang dihormati ini maka jelas diperbolehkan menetapkan manusia biasa manapun bahwa ia telah mengatasi kesulitan dan mencukupi kebutuhan dengan pengertian bahwa ia adalah mediator dalam pemenuhan kebutuhan tersebut.
Kalau manusia biasa bisa berperan seperti ini maka bagaimana dengan Nabi Muhammad saw. yang notabene junjungan mulia, Nabi Agung, makhluk termulia dunia akhirat , junjungan jin dan manusia serta makhluk Allah swt. paling utama secara mutlak?
Bukankah beliau pernah bersabda: "Barangsiapa membantu mengatasi satu dari banyak kesulitan seorang mu’min di dunia, maka Allah akan melepaskannya kesusahan pada hari kiamat." (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka orang mu’min adalah orang yang mengatasi segala kesulitan. Bukankah beliau juga bersabda:
"Barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya maka saya akan berdiri di dekat timbangan amalnya. Jika timbangan amal baik itu lebih berat maka aku biarkan, jika tidak maka aku akan memberinya syafaat? Maka orang mu’min adalah orang yang mencukupi segala kebutuhan.
"
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ لهُ
"
Barangsiapa menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya.
"Sesungguhnya Allah memiliki para makhluk yang didatangi banyak orang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
"
وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
"
Allah senantiasa membantu hamba-Nya sepanjang ia membantu saudaranya.
"
مَنْ أَغَاثَ مَلْهُوفًا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ ثَلاَثَةً وَسَبْعِينَ حَسَنَةً
"
Siapapun yang menolong orang teraniaya maka Allah akan menulis baginya 73 kebaikan." (HR. Abu Ya’la, al-Bazzar dan al-Baihaqi)
Dalam konteks ini orang mu’min adalah yang mengatasi, membantu, menolong, menutupi dan yang menjadi tempat pengaduan meskipun sesungguhnya pelaku sejatinya adalah Allah swt.
Namun berhubung ia adalah mediator dalam menangani masalah-masalah tersebut maka sah menisbatkan tindakan-tindakan tersebut kepadanya.
Dalam koleksi hadits-hadits Rasulullah saw. terdapat banyak hadits yang menjelaskan bahwa Allah swt. menghindarkan siksaan dari penduduk bumi berkat orang-orang yang beristighfar dan mereka yang rajin menghidupkan masjid dan Dia juga memberi rizqi, menolong dan menjauhkan musibah dan tenggelam dari penduduk bumi berkat mereka.
Ath-Thabrani dalam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam as-Sunan meriwayatkan dari Mani’ ad-Dailami ra. bahwa ia berkata :
Rasulullah saw. bersabda: “Jikalau tiada para hamba Allah yang sholat, para bayi yang menyusui dan binatang yang merumput niscaya adzab akan diturunkan dan orang-orang yang terkena adzab itu akan dihancurkan”.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Sa’d ibn Abi Waqqash ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ ؟
”
Bukankah kalian mendapat kemenangan dan rizki hanya karena orang-orang lemah kalian”.
At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dikategorikan shahih oleh al-Hakim dari Anas ra. bahwa Nabi saw. bersabda:
لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ
”Barangkali kamu mendapat rizqi berkat saudaramu”.
Dari Abdullah ibn Umar ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: ”Sesungguhnya Allah memiliki para makhluk yang Dia ciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Orang-orang datang kepada mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Mereka adalah orang-orang yang aman dari adzab Allah”.(HR. Thabrani dalam al-Kabiir).
Abu Nu’aim dan al-Qudlo’i dengan status Hasan) Dari Abdillah ibn Umar ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda :
”Sesungguhnya Allah swt, sebab keshalihan seorang laki-laki muslim akan membuat anak, cucu, warga desanya dan desa-desa sekitarnya menjadi shalih dan mereka senantiasa berada dalam lindungan Allah sepanjang laki-laki shalih itu tinggal bersama mereka”.
Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dalam tafsirnya:2341 dan an-Nasa’i dalam al-Mawa’idz dari as-Sunan al-Kubra sebagaimana keterangan dalam at-Tuhfah:13/380.
Para perawi hadits ini sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Shahih al-Bukhari dan al-Muslim selain guru an-Nasa’i yang dikategorikan tsiqah dan wa fihi kalamun.
Dari Ibnu ‘Umar ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: ”Sesungguhnya Allah menghindarkan bala’ berkat seorang laki-laki shalih, seratus keluarga dari tetangganya,”.
Lalu Ibn ‘Umar mengutip firman Allah swt.: "Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam." (HR. Thabrani).
Dari Tsauban seraya memarfu’kan hadits berkata: ”Di tengah kalian senantiasa ada 7 orang wali di mana berkat mereka kalian diberi pertolongan, hujan dan rizki sampai tiba hari kiamat”.
Dari ‘Ubadah ibn Shamit ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda:
الأبدال فى أمتى ثلاثون بهم تقوم الأرض وبهم يُمطرون وبهم يُنصرون
”Wali badal (Abdaal) dalam ummatku ada 30. Berkat mereka kalian diberi hujan dan mendapat pertolongan”.
Qatadah berkata:
إِنِّي لأَرْجُو أَنْ يَكُونَ الْحَسَنِ مِنْهُمْ
”Sungguh saya berharap Hasan al-Bashri termasuk mereka”. (HR. Thabrani).
Empat hadits di atas disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat:
"Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam." (QS. al-Baqarah:251).
Ayat ini layak dijadikan argumen dan dari keempatnya status hadits menjadi shahih.
Dari Anas ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: ”Bumi tidak akan sepi dari 40 laki-laki seperti Khalilurrahman Ibrahim as. Berkat mereka kalian disirami hujan dan diberi pertolongan.
Jika salah seorang meninggal maka Allah akan menggantinya dengan orang lain.” (HR. Thabrani dalam al-Ausath dan isnad-isnad hadits ini hasan. Majma’ az-Zawaid:2/62).
Prof. DR. Al-'Alim Al-'Allamah Al-Muhaddits As-Sayyid Muhammad Bin Alwi Bin Abbas Bin Abdul Aziz Al-Maliki Al-Hasani =
dalam Kitab Mafahim Yajibu An Tushohhah.
Editor: DBCLVIII