Sangat sering kita membaca atau mendengar ucapan, “Mana
dalilnya ?”, “Kalau memang itu baik/benar mengapa
Rasulallah dan para sahabat tidak pernah melakukannya ?”,
“Lau Kana Khairan Ma Sabaquna ilaihi ?”, “Apakah
Rasulallah dan sahabatnya pernah melakukannya ?” dan lain
sebagainya. Hal ini paling sering diucapkan oleh kelompok
Salafy Wahabi dalam memvonis amaliah pengikut I’tiqad
Ahlus Sunnah Wal Jamaah, seperti Yasinan, Tahlilan, Maulid
Nabi Muhammad SAW., peringatan hari besar Islam,
bermazhab, sunahnya mengucap ushalli sebelum takbiratul
ihram dan amalan lainnya.
AT TARK Pertanyaannya adalah apakah “At Tark” yaitu
“Rasulallah meninggalkan atau tidak melakukan sesuatu” itu
merupakan suatu hukum baru? Bisakah “At Tark” itu
dijadikan alat untuk menghukumi suatu amaliah itu makruh
atau bahkan haram ? Ataukah “At Tark” itu dianggap Salafy
Wahabi hanya sebagai “jembatan” untuk diarahkan ke bid’ah
dhalalah, yang semua tempatnya neraka?
Mari kita bahas bersama bagaimana sebenarnya kedudukan
“At Tark” ini. “At Tark” yang kita pahami sebagai amaliah
yang tidak dilakukan atau ditinggalkan oleh Rasulullah” tidak
secara langsung menghukumi sesuatu itu makruh atau
haram atau sering disebut kelompok Salafy Wahabi “Bid’ah
(Dhalalah)”.
Hal ini bisa kita buktikan dari banyak sudut pandang, yaitu :
1. Dari sudut Ushul Fiqh, larangan jelas ditunjukkan
dengan tiga hal :
Ada sighat nahi (berupa kalimat larangan) .Contoh : ﻭﻻ ﺗﻘﺮﺑﻮﺍ
ﺍﻟﺰﻥ (Jangan kalian dekati zina)
Ada Lafadz Tahrim (Lafadz keharaman). Contoh : ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺣَﺮَّﻡَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢُ
ﺍﻟْﻤَﻴْﺘَﺔَ (Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai
dst.)
Ada Dzammul Fi’l (Celaan/ancaman atas suatu perkara/
amal) Contoh : ﻣﻦ ﻏﺶ ﻓﻠﻴﺲ ﻣﻨﺎ (Barang siapa memalsu maka
bukan golongan kami)
Dari ketiga dasar ushul fiqh tersebut tidak ada “At Tark” di
salah satunya.
.
2. Nash Qur’an menyebutkan :
ﻭَﻣَﺎ ﺁَﺗَﺎﻛُﻢُ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝُ ﻓَﺨُﺬُﻭﻩُ ﻭَﻣَﺎ ﻧَﻬَﺎﻛُﻢْ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﺎﻧْﺘَﻬُﻮﺍ“) Apa yang diberikan
Rosul bagimu terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah” QS. Al Hasyr : 7 )
Disini jelas nash Qur’an menggunakan lafadz
“Naha” (dilarang), bukan “Tark” (ditinggalkan/tidak pernah
dilakukan)
.
3. Dalil dari Hadits menyebutkan :
ﻣَﺎ ﻧَﻬَﻴْﺘُﻜُﻢْ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﺎﺟْﺘَﻨِﺒُﻮﻩُ ﻭَﻣَﺎ ﺃَﻣَﺮْﺗُﻜُﻢْ ﺑِﻪِ ﻓَﺎﻓْﻌَﻠُﻮﺍ ﻣِﻨْﻪُ ﻣَﺎ ﺍﺳْﺘَﻄَﻌْﺘُﻢْ( “ Apa saja
yang aku cegah atas kalian maka jauhilah (tinggalkanlah),
dan apa-apa yang aku perintahkan pada kalian kerjakanlah
semampu kalian”. HR. Bukhori Muslim )
Disini Rasulullah juga tidak mengatakan “Tark” tapi
“Nahi” (larangan yang jelas).
Jadi jelas sudah bahwa “At Tark” bukan sumber hukum dan
tidak bisa secara otomatis menghukumi sesuatu itu makruh
atau haram. Hal ini berbeda dengan qaidah yang baru dibuat
oleh Salafy Wahabi yang mengatakan “at-Tarku Yadullu ‘ala
Tahrim”. Jelas ini mengada-ada.
.
LAU KAANA KHAIRAN MA SABAQUUNA
ILAIHIBerikutnya adalah sering kita baca atau dengar
kalimat
ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣَّﺎ ﺳَﺒَﻘُﻮﻧَﺎ ﺇِﻟَﻴْﻪِ
(Lau Kaana Khairan Maa Sabaquunaa Ilaihi)
Yang diartikan secara asal-asalan oleh Salafy Wahabi :
“Kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentulah para Shahabat
telah mendahului kita mengamalkannya”
Adakah kalimat itu dijadikan dasar hukum ? ataukah ada
sumber dari Ushul Fiqh?
Dengan tegas harus kita jawab tidak ada hal tersebut
sebagai sumber hukum untuk menilai halal/haram ataupun
bid’ah suatu amaliah. Dan yang paling penting kita ketahui
kalimat itu sebenarnya adalah ayat Qur’an surat Al Ahqaf
ayat 11.
Dalam asbabun nuzul ayat tersebut menyatakan bahwa
kalimat tersebut adalah kalimat “orang kafir quraisy “ yang
mempertanyakan masuk Islamnya “Zanin”, budak wanita
Sayyidina Umar ibn Khattab Ra. Sebelum beliau memeluk
Islam..
Pantaskah hal itu digunakan sebagai dalil menghukumi suatu
amal ??? Dengan tegas jawab tidak bisa. Bahkan hal itu jelas
diucapkan oleh orang yang tidak punya ilmu.
ASAL IBADAH ADALAH TAUQIF
Selanjutnya yang santer juga diucapkan oleh Salafy Wahabi
yaitu “Asal Ibadah adalah haram”. Yang kami temui istilah
yang tepat dan banyak disebut ulama adalah “Asal Ibadah
adalah Tauqif” bisa dilihat di Kitab Fathul Bari dan beberapa
Kitab Ushul Fiqh. Untuk jelasnya dalam Kitab Ushul Fiqh :
ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ
ﻭﻓﻲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻠﻴﻠﺔ ﺃﻭﺩ ﺃﻥ ﺃﻗﻒ ﻋﻨﺪ ﻗﻀﻴﺔ ﺃﺳﺎﺳﻴﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺟﻤﻴﻌﺎ ﻭﻫﻲ ﻗﺎﻋﺪﺓ ﻣﻌﺮﻭﻓﺔ
ﻋﻨﺪ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ، ﺃﻥ ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻛﻤﺎ ﺃﻥ ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻌﺎﻣﻼﺕ ﻭﺍﻟﻌﻘﻮﺩ
ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ، ﻭﻫﺬﻩ ﻗﺎﻋﺪﺓ ﻧﻔﻴﺴﺔ ﻭﻣﻬﻤﺔ ﺟﺪﺍ ﻭﻧﺎﻓﻌﺔ ﻟﻺﻧﺴﺎﻥ، ﻓﺒﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﻟﻠﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ
ﻟﻺﻧﺴﺎﻥ ﺃﻥ ﻳﺨﺘﺮﻉ ﻣﻦ ﻧﻔﺴﻪ ﻋﺒﺎﺩﺓ ﻟﻢ ﻳﺄﺫﻥ ﺑﻬﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ، ﺑﻞ ﻟﻮ ﻓﻌﻞ ﻟﻜﺎﻥ ﻗﺪ ﺷﺮﻉ
ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺄﺫﻥ ﺑﻪ ﺍﻟﻠﻪ، ﻓﻠﻢ ﻳﻜﻦ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﺘﺼﺮﻑ ﻓﻲ ﺷﺄﻥ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺃﻭ ﺍﻟﺰﻛﺎﺓ ﺃﻭ
ﺍﻟﺼﻮﻡ ﺃﻭ ﺍﻟﺤﺞ ﺯﻳﺎﺩﺓ ﺃﻭ ﻧﻘﺼﺎ ﺃﻭ ﺗﻘﺪﻳﻤﺎ ﺃﻭ ﺗﺄﺧﻴﺮﺍ ﺃﻭ ﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ، ﻟﻴﺲ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﻔﻌﻞ ﻫﺬﺍ،
ﺑﻞ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﺇﻧﻤﺎ ﺗﺘﻠﻘﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ، ﻭﻻ ﻳﻠﺰﻡ ﻟﻬﺎ ﺗﻌﻠﻴﻞ، ﺑﻞ ﻫﻲ ﻛﻤﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻷﺻﻮﻟﻴﻮﻥ :
ﻏﻴﺮ ﻣﻌﻘﻮﻟﺔ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ، ﺃﻭ ﺗﻌﺒﺪﻳﺔ، ﺑﻤﻌﻨﻰ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻓﻲ ﻋﻘﻮﻟﻨﺎ ﻧﺤﻦ ﻣﺎ ﻳﺒﻴﻦ ﻟﻤﺎﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ
ﺍﻟﻈﻬﺮ ﺃﺭﺑﻌﺎ، ﻭﺍﻟﻌﺼﺮ ﺃﺭﺑﻌﺎ، ﻭﺍﻟﻤﻐﺮﺏ ﺛﻼﺛﺎ، ﻭﺍﻟﻔﺠﺮ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ، ﻟﻴﺲ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻣﺎ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ
ﺇﻻ ﺃﻧﻨﺎ ﺁﻣﻨﺎ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺟﻞ ﻭﻋﻼ، ﻭﺻﺪﻗﻨﺎ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻓﺠﺎﺀﻧﺎ ﺑﻬﺬﺍ ﻓﻘﺒﻠﻨﺎﻩ،
ﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﻃﺮﻳﻖ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺍﻟﻌﻘﺎﺋﺪ ﻭﻃﺮﻳﻖ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ، ﻓﻤﺒﻨﺎﻫﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻭﺍﻟﺴﻤﻊ
ﻭﺍﻟﻨﻘﻞ ﻻ ﻏﻴﺮ، ﺑﺨﻼﻑ ﺍﻟﻤﻌﺎﻣﻼﺕ ﻭﺍﻟﻌﻘﻮﺩ ﻭﻧﺤﻮﻫﺎ، ﻓﺈﻥ ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ﻭﺍﻹﺫﻥ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ
ﻭﺭﺩ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻨﻊ ﻣﻨﻬﺎ، ﻓﻠﻮ ﻓﺮﺽ ﻣﺜﻼ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﺧﺘﺮﻋﻮﺍ ﻃﺮﻳﻘﺔ ﺟﺪﻳﺪﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻌﺎﻣﻠﺔ
ﻓﻲ ﺍﻟﺒﻴﻊ ﻭﺍﻟﺸﺮﺍﺀ ﻋﻘﺪﺍ ﺟﺪﻳﺪﺍ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻮﺟﻮﺩﺍ ﻓﻲ ﻋﻬﺪ ﺍﻟﻨﺒﻮﺓ، ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻟﻴﺲ ﻓﻴﻪ ﻣﻨﻊ،
ﻟﻴﺲ ﻓﻴﻪ ﺭﺑﺎ ﻭﻻ ﻏﺮﺭ ﻭﻻ ﺟﻬﺎﻟﺔ ﻭﻻ ﻇﻠﻢ ﻭﻻ ﺷﻲﺀ ﻳﺘﻌﺎﺭﺽ ﻣﻊ ﺃﺻﻮﻝ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ، ﻓﺤﻴﻨﺌﺬ
ﻧﻘﻮﻝ : ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻣﺒﺎﺡ؛
.
ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻓﻲ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ
ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﺗﻮﻗﻴﻔﻴﺔ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ، ﺗﻮﻗﻴﻔﻴﺔ ﻓﻲ ﺻﻔﺘﻬﺎ - ﻓﻲ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ- ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ
ﻳﺰﻳﺪ ﺃﻭ ﻳﻨﻘﺺ، ﻛﺄﻥ ﻳﺴﺠﺪ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺮﻛﻊ ﻣﺜﻼ ﺃﻭ ﻳﺠﻠﺲ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺴﺠﺪ، ﺃﻭ ﻳﺠﻠﺲ ﻟﻠﺘﺸﻬﺪ
ﻓﻲ ﻏﻴﺮ ﻣﺤﻞ ﺍﻟﺠﻠﻮﺱ، ﻓﻬﻴﺌﺔ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﺗﻮﻗﻴﻔﻴﺔ ﻣﻨﻘﻮﻟﺔ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ
.
ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻓﻲ ﺯﻣﻦ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ
ﺯﻣﺎﻥ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﺗﻮﻗﻴﻔﻲ - ﺃﻳﻀﺎ - ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﺨﺘﺮﻉ ﺯﻣﺎﻧﺎ ﻟﻠﻌﺒﺎﺩﺓ ﻟﻢ ﺗﺮﺩ، ﻣﺜﻞ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ
ﻣﺜﻼ
.
ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻓﻲ ﻧﻮﻉ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ
ﻛﺬﻟﻚ ﻻﺑﺪ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻣﺸﺮﻭﻋﺔ ﻓﻲ ﻧﻮﻋﻬﺎ، ﻭﺃﻋﻨﻲ ﺑﻨﻮﻋﻬﺎ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺟﻨﺲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ
ﻣﺸﺮﻭﻋﺎ، ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﺘﻌﺒﺪ ﺑﺄﻣﺮ ﻟﻢ ﻳﺸﺮﻉ ﺃﺻﻼ، ﻣﺜﻞ ﻣﻦ ﻳﺘﻌﺒﺪﻭﻥ ﺑﺎﻟﻮﻗﻮﻑ ﻓﻲ
ﺍﻟﺸﻤﺲ، ﺃﻭ ﻳﺤﻔﺮ ﻟﻨﻔﺴﻪ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﻭﻳﺪﻓﻦ ﺑﻌﺾ ﺟﺴﺪﻩ ﻭﻳﻘﻮﻝ : ﺃﺭﻳﺪ ﺃﻥ ﺃﻫﺬﺏ ﻭﺃﺭﺑﻲ
ﻭﺃﺭﻭﺽ ﻧﻔﺴﻲ ﻣﺜﻼ، ﻓﻬﺬﻩ ﺑﺪﻋﺔ
.
ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻓﻲ ﻣﻜﺎﻥ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ
ﻛﺬﻟﻚ ﻣﻜﺎﻥ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻻﺑﺪ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺸﺮﻭﻋﺎ، ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻺﻧﺴﺎﻥ ﺃﻥ ﻳﺘﻌﺒﺪ ﻋﺒﺎﺩﺓ ﻓﻲ ﻏﻴﺮ
ﻣﻜﺎﻧﻬﺎ، ﻓﻠﻮ ﻭﻗﻒ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ - ﻣﺜﻼ- ﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ ﺑﺎﻟـﻤﺰﺩﻟﻔﺔ ﻓﻼ ﻳﻜﻮﻥ ﺣﺠﺎ ﺃﻭ ﻭﻗﻒ ﺑـﻤﻨﻰ، ﺃﻭ
ﺑﺎﺕ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻤﺰﺩﻟﻔﺔ ﺑـﻌﺮﻓﺔ، ﺃﻭ ﺑﺎﺕ ﻟﻴﺎﻟﻲ ﻣﻨﻰ ﺑﺎﻟـﻤﺰﺩﻟﻔﺔ ﺃﻭ ﺑـﻌﺮﻓﺔ، ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺃﺩﻯ
ﻣﺎ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ، ﺑﻞ ﻳﺠﺐ ﺃﻥ ﻳﻠﺘﺰﻡ ﺑﺎﻟﻤﻜﺎﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﺣﺪﺩﻩ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ ﺇﻟﻰ ﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ
.
Jika kita baca penjelasan diatas, maka rangkumannya
adalah Asal Ibadah adalah Tauqif (berhenti) pada dalil yang
jelas (sahih) baik Qur’an dan hadits. Pengertian berhenti
adalah mengikuti pada dalil yang sahih dari Qur’an dan
hadits tidak boleh dikurangi, ditambahi, mendahulukan
ataupun mengakhirkan. Dijelaskan selanjutnya tauqif itu
mengikuti :
1. Tauqif Sifat Ibadah ( ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻓﻲ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ )
dicontohkan dalam penjelasannya :
“tidak boleh untuk menambah dan megurangi. seperti sujud
sebelum ruku’, atau duduk sebelum sujud, atau duduk
tasyahud tidak pada tempatnya”
2. Tauqif Waktu Ibadah ( ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻓﻲ ﺯﻣﻦ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ )
dicontohkan dalam penjelasannya :
“tidak boleh seseorang itu membuat buat ibadah di waktu
tertentu yang syari’ tidak memerintahkannya”
3. Tauqif Macamnya Ibadah ( ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻓﻲ ﻧﻮﻉ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ )
dicontohkan dalam penjelasannya :
“tidak sah bagi orang yang menyembah sesuatu yang tidak
di syariatkan, seperti menyembah matahari atau memendam
jasadnya sebagian sembari berkata ” saya ingin melatih
badanku “ misalkan ini semua bid’ah.”
4. Tauqif Tempat Ibadah ( ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻓﻲ ﻣﻜﺎﻥ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ )
dicontohkan dalam penjelasannya :
“jika seseorang wukuf di Muzdalifah, maka ini bukan haji,
atau wuquf di Mina, atau bermalam ( Muzdalifah ) di Arafah,
dan sebaliknya, maka ini semua bukanlah sesuatu yang
masyru’. kita wajib melaksanakan ibadah sesuai tempat yang
sudah disyari’atkan oleh syari’.
Jadi dari penjelasan diatas jelas bahwa Ibadah yang
dimaksud adalah Ibadah Mahdhah yaitu Ibadah yang hanya
berhubungan dengan Allah dan telah lengkap dan sempurna
penjelasannya dalam Qur’an dan Hadits. Seperti : Shalat,
Puasa, Haji, Zakat, berikut syarat dan rukun yang
mendampinginya..
Maka dalam I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaahpun jelas hal
ini tidak boleh dikurangi, ditambahi, mendahulukan ataupun
mengakhirkan. Semua sudah dalam batasan yang jelas.
Sedangkan pada Ibadah Ghairu Mahdhah yaitu Ibadah yang
tidak berketatapan hukum mengikat tapi menjadikan
penghubung untuk mencari ridha Allah, maka boleh diadakan
selama tidak bertentangan dengan Qur’an dan hadits
sahih. Maka secara umum dalam ushul fiqh terdapat suatu
ijma’ ulama yaitu Lil Wasa’il Hukmul Maqashid, artinya
“Hukum untuk perantara sama dengan hukum tujuannya”.
Untuk mudahnya contohnya adalah :
“Berzina itu haram, maka menyediakan kamar/rumah untuk
berzina itu juga haram”. Maka Berzina itu maqashid
(tujuannya) sedang menyediakan kamar/rumah untuk berzina
itu wasail (perantaranya). Jika kita cari hukum berzina jelas
ada dalilnya, tapi wasailnya tanpa dalil dia sudah berhukum
haram.
“Bershalawat adalah perintah (sunnah muakkad) maka
mengadakan maulid nabi Muhammad SAW untuk mengenal
kehidupan Nabi, membangun kecintaan kepada beliau,
termasuk bershalawat didalamnya adalah Sunnah”.
Bershalawat adalah maqashidnya sedang memperingati
maulid adalah wasailnya.
Dan masih banyak contoh yang bisa kita ambil dalam Ibadah
Ghairu Mahdhah seperti Yasinan, Tahlilan, Mengucap ushalli
dan lain sebagainya. Terpenting adalah hal tersebut dari sisi
maqashidnya tidak boleh bertentangan dengan Qur’an dan
Hadits.
Demikianlah pemahaman dalam I’tiqad Ahlus Sunnah Wal
Jamaah yang mengikut junjungan kita Rasulullah Muhammad
Shalallahu ‘alaihi Wa Alihi Wasallam.
Maka jelas apa yang tidak dilakukan Rasulullah bukan
“bid’ah dhalalah (tersesat)”..
Dan hal itu sesuai dengan hadits Rasulullah SAW :
ﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺣَﺴَﻨَﺔً ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﺟْﺮُﻫَﺎ ﻭَﺃَﺟْﺮُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ
ﺃُﺟُﻮﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻲْﺀٌ ﻭَﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺳَﻴِّﺌَﺔً ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭِﺯْﺭُﻫَﺎ ﻭَﻭِﺯْﺭُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﻣِﻦْ
ﺑَﻌْﺪِﻩِ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃَﻭْﺯَﺍﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻲْﺀٌ
“Barang siapa yang menjalankan suatu sunnah yang baik
didalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang
yang mengikutinya dan tidak berkurang sedikitpun dari
pahalanya, dan barangsiapa yang menjalankan suatu sunnah
yang jelek didalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa
orang yang mengikutinya dan tidak dikurangkan sedikitpun
dari dosanya” (HR. Imam Muslim Nomor 1017)
Read more: http://www.sarkub.com/2012/apakah-yang-
tidak-dilakukan-rasulullah-adalah-bidah-sesat/
#ixzz2JipFl2uM Follow us: @T_sarkubiyah on Twitter |
140014749377806 on Facebook